CIREBON, KOMPAS.com – Rastini tampak sibuk mengambil sejumlah buku di sebuah rak. Buku itu, lalu ia berikan kepada peserta didik. Bukan siswa berseragam putih di sekolah, tapi mereka yang sudah berambut putih di rumah.
Rastini penyandang difabel netra Cirebon mengabdikan dirinya untuk mengajarkan braille keliling dari satu titik ke titik lain.
Kompas.com menyaksikan aktivitas Rastini tersebut. Dia memberikan buku braille kepada 6 orang peserta didik. Rastini membuka lembaran buku, mulai meraba huruf braille, dan memberikan penjelasan tentang aplikasi bantuan komunikasi untuk tunanetra.
Baca juga: Cerita Briptu Luhur Beri Pelatihan Seni Reog ke 15 Anak Tuna Netra di Ponorogo
"Jadi, meski kita tunanetra, teman-teman tetap harus bisa berkomunikasi dengan keluarga, saudara, orang lain melalui hp. Kita bisa gunakan layanan talkback di pengaturan hp, atau aplikasi lainnya untuk dapat berkirim tulisan," kata Rastini membuka pertemuan di Sekretariat Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI), Perumahan Arum Sari, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Selasa (3/1/2023).
Wanita berusia 38 tahun ini tampak bersemangat melakukan pengajaran menggunakan braille. Baginya braille tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.
Menurutnya, braille adalah identitas yang harus terus dipelajari dan diajarkan kepada penyandang disabilitas netra.
"Braille menjadi identitas kami. Braille harus tetap dipelajari dan diajarkan kepada teman-teman netra. Karena, braille dapat membuka jendela dunia meski mata kami tertutup atau tidak dapat melihat," kata Rastini, usai kegiatan belajar mengajar.
Baca juga: Kisah Amin Hambali, Mahasiswa Difabel Netra yang Bermimpi Jadi Penulis
Wanita asal Desa Hulubanteng, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon ini gigih memperjuangkan braille. Ini lahir berkat keinginan kuatnya untuk terus belajar dengan berbagai keterbatasan. Rastini melewati banyak proses sejak kecil.
Kepada Kompas.com, anak kelima dari pasangan Talam dan Rastiwen ini bercerita, dia menjadi tunanetra saat usia 2 tahun karena sakit.
Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak dapat berobat hingga mata Rastini menutup selamanya. Namun, keinginan belajar Rastini tidak pernah padam.
Rastini masuk SLB A Beringin Bakti, Desa Kepompongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Dia juga tinggal di asrama setempat. Di lokasi ini, Rastini mengenal braille. Setelah mengeyam pendidikan SLB tingkat SD, Rastini makin haus ilmu.
“Saya bener-bener cinta Braille saat kelas 6 SD, saat belajar bahasa Indonesia. Saya belajar membuat puisi, lalu saya kirimkan ke Gema Braille, majalah khusus tunanetra. Tulisan pertama saya diterbitkan, saya senang sekali,” tambah Rastini.
Rastini kemudian sering mengirim cerita ke Gema Braille. Capaian kreativitas itulah yang membawa Rastini melanjutkan pendidikan tingkat SLTA pendidikan normal, di SMAN 7 Bandung.
Dia ingin terus belajar meski harus berpisah dengan orangtua dan tinggal bersama teman di asrama.
Rastini membuktikannya, tidak hanya kirim tulisan ke Gema Braille, dia lalu mengirim tulisan ke Sahabat Pena. Nama Rastini kemudian dikenal baik hingga mendapatkan beasiswa pendidikan di SMAN 7 Bandung.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.