Salin Artikel

Kisah Ade, Jadi Tukang Ganjel Nagreg Sejak Belasan Tahun, Karier Berhenti Saat Lingkar Nagreg Berdiri

BANDUNG, KOMPAS.com - Suasana lebaran selalu membuat Ade Rohmat (35) teringat akan kenangan di masa lalu. Masa berjibaku dengan hiruk pikuk arus mudik dan arus balik di kawasan Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Bagaimana tidak, masa remaja Ade dihabiskan di jalur Nagreg sebagai seorang tukang ganjel. Ya, profesi musiman yang sempat populis jauh sebelum jalur Lingkar Nagreg berdiri.

Saat ditemui di Pos Pelayanan Cikaledong, Nagreg, Ade bercerita tentang pengalamannya di masa itu.

Kala itu, Ade tak punya pilihan banyak untuk membantu kedua orangtuanya mencari nafkah.

Maklum saja, Ade dibesarkan dari keluarga ekonomi rendah. Ayahnya, berkerja sebagai seorang petani sedang ibunya pedagang gorengan.

"Abi putra pangbungsuna (saya anak paling bungsu), ada kakak perempuan udah meninggal. Kedua orangtua (sekarang) juga sudah meninggal. Sekarang saya tinggal sama kakak laki-laki saya," kata Ade ditemui, Sabtu (7/5/2022).

Serba kekurangan sudah menjadi nafasnya sejak remaja. Penghasilan orangtua yang tak seberapa, kata Ade, harus dibagi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Alih-alih mengenyam bangku pendidikan SMA atau kuliah, Ade terpaksa meninggalkan bangku pendidikan lantaran ekonomi keluarga yang kian hari kian menyusut.

"Saya SMP nggak tamat. Almarhum kakak perempuan saya sampai SMA, terus kakak laki-laki sampai SMP. Kalau saya sampai SD, karena waktu itu SMP nggak tamat, cuma sampai kelas 2, (karena) soal biaya. Ya mau nggak mau harus nerima," ujarnya.

Menjadi tukang ganjel

Pil pahit lantaran harus putus sekolah, terpaksa harus ditelan Ade. Kala itu, mencari uang adalah satu-satunya harapan pengganti kekecewaan.

Ade masih mengingat, jelang lebaran tahun 2001, salah satu tetangganya mengajak dia untuk menjadi tukang ganjel di tanjakan Nagreg.

Saat itu, hampir rata-rata warga sekitar memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang ganjel.

"Memang kerjaan sampingan, ya datangnya pas mau rame-rame mudik aja. Kebetulan saya diajak temen," kata Ade.

Tanpa pikir panjang, ia langsung mengiyakan ajakan temannya. Dibantu kawan-kawan sesama tukang ganjel, Ade dibuatkan ganjelan.

Ganjelan, adalah satu-satu alat yang membantunya mengais rezeki kala itu. Ganjelan itu terbuat dari bongkahan kayu berbentuk kotak atau segi lima yang salah satu ujung dipasang kayu panjang untuk pegangan.

"Langsung dibuatkan dua atau tiga ganjelan sama temen-temen. Kenapa banyak, biar bisa dapet uangnya nggak dari satu mobil saja," terangnya.

Ade menuturkan, ia harus sudah siap di pinggiran jalan Nagreg sejak subuh pada H-10.

Demi meraup untung lebih, saat itu Ade mengaku harus siaga sampai tengah malam.

Meski hanya berprofesi sebagai tukang ganjel dan meraih uang tak seberapa, persaingan tetap terjadi.

Tak jarang, seingatnya, kerap terjadi perkelahian sesama tukang ganjel demi merebutkan satu mobil yang kesulitan melewati tanjakan.

"Wah, waktu itu mah sampai pukul-pukulan, masalahnya suka rebutan," tambahnya.

Hal itu ditengarai membuat ia memilih untuk begadang setiap harinya.

"Dari pada ribut, saya milih jalan jauh atau begadang, dari sahur ke sahur lagi," ungkapnya.

Ade masih ingat, pendapatannya sehari saat menjadi tukang ganjel bisa mencapai Rp 100 sampai Rp 200 ribu. Belum lagi, kata dia, para pengendara yang kerap memberinya makan atau rokok.

"Kadang ada yang ngasih rokok atau cemilan, tergantung orangnya," beber dia.

Uang hasil ganjel, lanjutnya tak pernah lama bertahan di sakunya. Ade mengaku kerap langsung memberikan pada orang tua di rumah untuk menutupi sehari-hari.

Stigma tukang pungli

Sudah jatuh tertimpa tangga, perjuangannya menjadi tukang ganjel demi meningkatkan ekonomi keluarga, nyatanya tak berjalan mulus.

Saat itu, kata Ade, muncul isu di masyarakat terutama pemudik, bahwa tukang ganjel Nagreg kerap mematok harga yang fantastis.

Sempat tersiar kabar, satu mobil dipatok harga Rp 200 ribu. Hal itu, membuat Ade dan yang lainnya geram.

"Betul, sempat ada berita kaya gitu, kita semua sempat cari orang atau kelompok ganjel mana yang matok harga segitu, tapi gak ada, gak tau gak ngaku," tuturnya.

Kabar tak sedap itu, lanjutnya, mengiringi karirnya sebagai tukang ganjel. Bahkan, sambung dia, stigma itu membuat penghasilannya menurun.

"Sempet jadi berkurang tuh, pas kabar itu penghasilan jad Rp 20 sampai Rp 50 ribu perhari," jelasnya.

Tak sampai disitu, stigma itu sempat membuat jajaran kepolisian memantau dan kerap menegur Ade dan yang lainnya.

"Pernah ada kabar juga yang sampai di tangkap, tapi saya gak tau siapa orangnya," ucap Ade.

Direkrut Polisi

Selain menjadi tukang ganjel, Ade tau persis pembangunan jalur Lingkar Nagreg. Bahkan, rentan tahun 2010-2011 ia pernah direkrut jajaran Polresta Bandung untuk membantu kepolisian mengurai kemacetan saat masa pembangunan.

Ade menjelaskan saat itu kemacetan cukup parah lantaran terhambat proses pembangunan jalur Lingkar Nagreg.

Tak sedikit, katanya kendaraan yang mogok atau tak bisa melewati kontur tanjakan.

"Waktu itu parah macetnya, ada pembangunan di pinggirnya terus sebagian lahan di bangun buat jalan Lingkar Nagreg," tuturnya.

Hal itu, lanjutnya yang membuat ia dan kawan-kawan yang lain direkrut kepolisian untuk membantu kendaraan yang mogok dan mengurai macet.

"Saya ingat di kasih rompi warna oren, sama topi kalau gak salah, ya gitu berjajar di pos pos polisi," ingatnya.

Namun sayang, meski sudah resmi direkrut polisi, saat itu ia tidak diberi upah apapun.

"Mungkin supaya gak liar aja, jadi polisi ngajak kita. Kalau masalah upah mah ya kita tetep aja nyari mobil yang harus di ganjel," ujarnya.

Lingkar Nagreg lahir, karir berakhir

Bagi sebagian pemudik, jalur Lingkar Nagreg merupakan penyelamat dari peliknya kemacetan.

Tapi bagi Ade, berdirinya infrastruktur menjadi lonceng tanda berakhirnya karir sebagai tukang ganjel.

"Ya udahan, meskipun tukang ganjel itu sambilan tapi menguntungkan, akhirnya ya saya balik lagi ke sawah atau jadi kuli," ungkapnya.

18 tahun sudah Ade memerankan lakon sebagai tukang ganjel di Nagreg. Tak terhitung berapa mobil, bus, dan truk yang terbantu oleh jasanya.

Kini, ia hanya bisa menikmati kemacetan di Nagreg sebagai pemandangan saat lebaran.

Mungkin keringat serta kenangannya sebagai tukang ganjel, sudah tertimbun di bawah jalur Lingkar Nagreg. Namun akan tetap tumbuh dalam ingatan pemudik sebagai potret pembangunan Nasional.

https://bandung.kompas.com/read/2022/05/07/152118878/kisah-ade-jadi-tukang-ganjel-nagreg-sejak-belasan-tahun-karier-berhenti-saat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke