Salin Artikel

Sopir Angkot hingga Ojol Pusing Harga BBM Subsidi Bakal Naik, Pengamat: Pemerintah Juga Harus Carikan Solusi

BANDUNG, KOMPAS.com - Pemerintah berencana bakal menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar. Rencananya, kenaikan BBM tersebut bakal dimulai pada Kamis (1/8/2022) nanti.

Opsi tersebut nyatanya mendapatkan keluhan dari masyarakat. Pengemudi ojek online (ojol) hingga supir angkot di Kabupaten Bandung menilai, kebijakan itu amat sangat memberatkan di saat mobilitas warga kembali menggeliat pasca meredanya pandemi Covid-19.

Mamat Afrizal (33), salah satu pengemudi ojol mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, pemerintah tidak pernah tahu bagiamana beban pekerja lapangan sepertinya, ketika mendengar kebijakan seperti itu.

Kenaikan harga BBM bersubsidi itu, kata dia, akan berdampak pada profesi sepertinya. Beban kerjanya otomatis akan bertambah.

"Profesi seperi saya ini kan mengandalkan BBM sebagai bagian dari pekerjaan. Otomatis sangat terbebanilah dengan kebijakan itu," katanya saat ditemui Kompas.com, Senin (29/8/2022).

Mamat sudah membayangkan jika rencana kenaikan BBM diterapkan. Salah satunya, para pengemudi ojol harus menambah jam kerja untuk menutupi biaya bahan bakar sepeda motor.

Biasanya, lanjut Mamat, ia kerap mulai mencari penumpang pada pukul 06.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB.

Rentan waktu tersebut, Mamat biasa mendapatkan Rp 75.000 di potong biaya bensin full tank Rp 30.000.

"Kalau (BBM) naik, full tank menjadi Rp 50.000. Jadi pasti harus nambah jam untuk memenuhi biaya itu,” terangnya.

Hal serupa juga dirasakan Novriandi (47), sopir angkot jurusan Soreang-Leuwi Panjang. Baginya, kenaikan harga BBM bersubsidi memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat kecil.

Ia mengaku, harus memutar otak di tengah sepinya penumpang. Sejak, hadirnya kendaraan umum online dan angkutan massal murah lainnya, angkot perlahan ditinggalkan masyarakat.

"Sekarang ditambah lagi BBM bersubsidi ikut naik, apa nggak stress tuh kita para supir angkot," kata dia.

Saat ini tarif yang diterapkan khusus angkot yang ia bawa kerap kali mendapat komplain dari penumpang.

Kebijakan kenaikan BBM, kata Novriandi, menambah beban seluruh supir angkot untuk memutar otak, merumuskan kembali biaya tarif yang harus diterapkan.

BBM bersubsidi, lanjut Novriandi, merupakan salah satu pegangan bagi para supir angkot.

Hampir, rata-rata supir angkot menjadikan harga BBM bersubsidi sebagai patokan menetapkan tarif angkot.

“Ya beratnya karena harus mutar otak ditarif, karena kalau dinaikkan pelanggan pasti berkurang. Tapi kalau tetap kita yang susah,” kata Novriandi.

Keduanya berharap, agar pemerintah benar-benar mengkaji sebaik-baiknya sebelum kebijakan tersebut disahkan.

"Kita tahu BBM pertamax udah naik, jadi semoga ini jangan ikut naiklah. Mending dipikir lagi, kalaupun harus naik kasih juga solusinya,” ucap Novriandi.

Tanggapan pengamat

Sementara itu, pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Setia Mulyawan menilai, pemerintah harus menemukan solusi guna mencegah dampak dari naiknya harga BBM bersubsidi.

Ia menilai, setiap kebijakan naiknya harga BBM, apalagi BBM bersubsidi, harus dibarengi dengan solusi yang mesti dikaji kemudian disosialisasikan.

“Segera carikan solusi apa yang ditawarkan sebagai antisipasi dampak dari kenaikan harga BBM tersebut,” kata Setia melalui sambungan telepon.

Menurutnya, persoalan subsidi BBM bukan hanya tentang kenaikan harga saja. Namun juga ada persoalan penikmat serta penerima subsidi.

Belum lagi, kata dia, beberapa waktu lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa 86 persen penikmat BBM subsidi adalah masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas

Oleh sebab itu, ia menekankan agar pemerintah bisa tegas dan memberikan jaminan serta memastikan penerima BBM subsidi betul-betul tepat sasaran.

"Harus diatur oleh pemerintah, untuk memastikan bahwa yang disubsidi itu adalah kelompok yang betul-betul rentan terhadap perubahan harga,” ujar Setia.

Tak hanya itu, ia meyebut pemerintah juga wajib mengantisipasi efek yang bakal hadir akibat kenaikan tersebut, seperti kenaikan harga yang lain.

Biasanya, lanjut setia, pelaku usaha kerap menaikan harga bahan pokok sebelum harga BBM bersubsidi itu belum naik.

“Yang penting juga adalah ketegasan pemerintah untuk menjaga bantalan sosial dalam mengantisipasi dampak dari kenaikan ekonomi itu. Karena efeknya kan sudah ada, harganya belum naik, tapi panik buying sudah terjadi, efek terhadap kenaikan komoditi lain juga terjadi,” terangnya.

Produksi Minyak dalam Negeri tak memenuhi target

Pemerintah, sambung Setia, bisa terbebas dari gurita impor harga minyak dunia. Asalkan, pemerintah bisa mengamankan hasil produksi (lifting) minyak dalam negeri sesuai dengan target.

“Persoalannya kemudian, terget tersebut tidak tercapai. Jika target itu tercapai, pemerintah tidak dihadapkan dengan kebijkan impor yang terlalu besar. Nah ini kan masalahnya dengan harga minyak dunia. Kenapa kemudian harga minyak dunia berdampak ke kita, karena kita harus menutup kekurangan konsumsi BBM kita dengan cara mengimpor,” bebernya.

Saat ini capaian lifting minyak dan gas pada semester I Tahun 2022, baru mencapai 90 persen dari terget yang telah ditetapkan. Berdasarkan data SKK Migas, realisasi minyak hingga Juni 2022, tercatat sebesar 616.600 barel per hari. Sementara target lifting minyak pada APBN 2022 sebesar 704.000 barel per hari.

Hal itu, kata dia, mesti menjadi perhatian serius pemerintah, agar Indonesia bisa mencapai kemandirian dalam sektor energi.

“Agar kita tidak terus bergantung dengan impor yang harganya diatur atau mengikuti gejolak dunia,” bebernya.

Oleh karenanya, penentuan kebijakan persoalan BBM subsidi harus dibarengi dengan perhatian serta upaya pemerintah untuk mewujudkan Indonesia mandiri energi. Sudah semestinya potensi sumber daya dimanfaatkan untuk negeri sendiri.

“Karena potensi kita untuk mencapai kemandirian energi itu sebenarnya besar. Kalau saja pemerintah fokus terhadap industri minyak dalam negeri, hal itu bisa terpenuhi,” pungkas Setia.

Sebelumnya, pemerintah menaikkan harga BBM karena membengkaknya anggaran subsidi yang semula Rp 152,5 Triliun menjadi Rp 502,4 Triliun. Sebab itu, pemerintah menilai, jika kebijakan itu tak dirubah, anggaran tersebut akan semakin membengkak, bahkan mencapai Rp 698 Triliun.

Sehingga pemerintah menganggap salah satu cara mengatasinya yaitu dengan menaikkan harga BBM Subsidi untuk mengurangi beban APBN.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/29/172758578/sopir-angkot-hingga-ojol-pusing-harga-bbm-subsidi-bakal-naik-pengamat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke