Salin Artikel

Pameran "Tari Rasa", Perjalanan Seorang Pelukis Menemukan Rasa yang Hilang

BANDUNG, KOMPAS,com - Bagi seorang pelukis, rasa merupakan hal sakral untuk mengekspresikan karya.

Untuk mendapatkan "rasa" tidak semudah membalikan telapak tangan, perlu waktu untuk membangun dan memunculkan rasa itu, entah harus melalui proses kontemplasi yang lama atau melalui perenungan kehidupan pribadi.

Seperti yang dirasakan seorang pelukis Azasi Adi melalui pameran tunggal yang bertemakan "Tari Rasa". Sebanyak 48 lukisan terpampang di dinding lantai 2 Studio Jeihan, Jalan Padasuka, Bandung, Jawa Barat.

Pameran yang berlangsung sejak tanggal 23 Agustus sampai 4 September 2022 ini memperlihatkan 3 tema lukisan Adi, yang terdiri dari 25 buah sketsa, 11 lukisan single figur , dan 10 lukisan banyak figur.

46 lukisan tersebut merupakan simbol dari 46 tahun perjalanan Adi mencari surga yang hilang dalam melukis "rasa".

"Saya seperti menemukan rasa dalam melukis, seperti menemukan surga yang hilang," ucap Adi usai melakukan live perfomance melukis seorang penari di median kanvas 140x180 cm dengan cat acrylic dan dan arang, Senin (29/8/2022).

Adi bercerita soal pengalamannya menemukan "rasa" saat melukis. Sebagai putra dari seorang pelukis indonesia ternama, Jeihan Sukmamtoro, Adi mulai melukis sejak usia 4 tahun dengan menggunakan kapur tulis di lantai.

Menginjak usia 6 tahun, Adi pernah memenangkan lomba menggambar tingkat nasional yang diadakan majalah Bobo. Kala itu, dia menggambar dengan krayon di atas kertas.

Ia juga pernah memenangkan lomba lukis juara dua di Taman Lalu Lintas dengan menggunakan cat air.

Darah seni itu memang sudah terlihat dari Adi kecil. Hingga suatu siang sepulang sekolah, Almarhum ayahnya, Jeihan, memintanya untuk melukis.

Adi muda yang saat itu belum mengerti, hanya bisa terpaku dan terdiam lantaran tak punya persiapan apapun.

"Saya waktu itu kan masih kecil nggak tahu apa-apa, sama bapak Jeihan saya dimarahi dan dikasih contoh," katanya bercerita.

Namun, hal itu ternyata membuat Adi trauma, ia pun berhenti melukis cukup lama lantaran ada rasa yang hilang.

Pada tahun 1986, Adi kembali mencoba melukis dan berpameran bersama. Bahkan, di tahun-tahun setelahnya ia pun kembali melakukan pameran tunggal sebanyak dua kali di tahun 2006 dan 2008 , dan pameran bersama di Sinjuku Galery, Tokyo Jepang pada tahun 2018. Namun dia mengaku, tetap ada sesuatu yang hilang.

"Memang saya bisa tekun lagi, tapi seolah ada rasa yang hilang. Saya coba pakai gaya berbeda, alat bantu, namun tetap saja ada rasa yang hilang," katanya.

Menjelang ulang tahunnya ke-54, di pertengahan bulan Mei 2022, dan beberapa waktu setelah wafatnya Srihadi Soedarsono - salah satu pelukis legendaris Indonesia -, Adi mengaku mendapatkan dorongan untuk melukis penari Bedoyo.

Dia mencoba mengambil sebatang arang lalu dicoretkannya di atas kanvas berukuran 140x140 hingga 140x180.

"Ada keinginan untuk melukis seperti sebelumnya pakai kuas, tapi nggak memuaskan. Tiba-tiba (coba melukis) pakai arang, itu mengalir begitu saja, seolah merasakan rasa (yang hilang). Lalu datang pak Andi Sopiandi, beliau bilang, ini (lukisan) sangat original dan gak bisa diulangi lagi," ucapnya.

Adi merasa melukis dengan arang memberikan kebebasan dalam menggoreskan garis di media kanvas, tak seperti melukis dengan kuas yang ia rasakan terdapat jarak dalam mengekspresikan lukisannya. Dengan arang dan tangannya, ia bebas mengekpresikan karyanya.

Pelukis dan fotografer Andi Sopiandi bahkan menyebut bahwa sketsa dari karya Adi ini benar-benar hidup, dengan garis spontan orisinal yang sulit untuk ditiru. Ucapan itu juga mendorong semangatnya untuk terus berkarya.

"Saya merasakan rasa yang itu ada kegairahan lagi, dalam prosesnya saya berpikir dan teringat lagi kata-kata pak Jeihan 'Seorang pendekar sejati mesti siap bertarung kapan saja walaupun ketika dibangunkan saat tidur, demikian juga dengan pelukis sejati semestinya harus siap melukis kapan saja'," kata Adi.

"Saya merasa "terobati", ternyata maksud Pak Jeihan pada waktu itu bahwa saya sebagai pelukis harus siap melukis kapan saja. Saat itulah trauma menjadi hilang," tambahnya.

Ekspresi dari karya tersebut itulah yang kini menghasilkan 46 lukisan dengan obyeknya seorang penari Bedoyo yang menurut Adi memiliki makna mendalam.

"(Lukisan-lukisan) ini saya kerjakan dalam waktu tiga bulan," katanya.

Penari Bedhaya atau Bedoyo, dipilih Adi karena berdasar pada aura sakral yang melingkupinya.

Bedoyo, kata Adi, adalah seorang penari wanita di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Tari Bedoyo diciptakan oleh Sultan Agung Hanyaka Kusumo, seorang Raja Kasultanan Mataram ke.4 yang mendengar suara gaib lantunan lagu indah ketika bersemedi.

Tari Bedoyo, lanjut Adi, menawarkan keanggunan, kelembutan dan perilaku yang suci. Dalam perkembangannya, penari ini dikatakan bukanlah orang sembarang, mereka di seleksi karena penari Bedoyo harus suci lahir bathin dengan melakukan puasa mutih hingga tak boleh melakukan perbuatan tercela.

Bagi Adi, Bedoyo merupakan simbol dari kita manusia yang berada di kerajaan Allah SWT.

"Bedoyo ini bagi saya tak lagi sebagai tarian tapi sudah menjadi alat ungkap rasa dan pikir saya," ucapnya.

Hal ini lah yang melahirkan lukisan Bedoyo Ngalap berkah, Bedoyo Tabur emas dan Bedoyo Pitu-pitu yang menjadi persembahan Adi kepada sang Almarhum ayahnya, Jeihan yang juga dipersembahkan dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan RI yang 77.

"Budoyo pitu pitu" artinya 77, jadi ada 7 figur dan 7 cenduk mentul atau kembang goyang, itu kan kalau di perhatikan seperti merah putih si bunganya, disitu juga megandung pesan biar bagaimanapun juga kita harus tetep "belajar" dan berkarya, sehingga itu juga seolah penari memegang kuas yang menyimbolkan pengaryaan dan buku simbol pengetahuan, sesuatu yang mungkin agak terlupakan sekarang ini," ucapnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/30/110536778/pameran-tari-rasa-perjalanan-seorang-pelukis-menemukan-rasa-yang-hilang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke