Salin Artikel

Siswa SMP di Kabupaten Bandung Diduga Dipaksa Beli Seragam, Kepsek Beri Penjelasan

Nuryati (bukan nama asli) salah seorang orangtua siswa kelas 7 di SMP Negeri 1 Pasirjambu mengatakan, diminta untuk membayar biaya tambahan sebesar Rp 800.000 untuk biaya seragam dan jas almamater.

Nuryati yang sengaja menyekolahkan anaknya di SMP negeri untuk menghemat biaya, tidak menyangka harus mengeluarkan biaya tambahan.

"Berat dengan harga segitu mah, padahal saya dan suami sudah nyiapin seragam buat anak saya," katanya dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2022).

Menurutnya, uang untuk membeli seragam dan jas almamater sekolah tersebut harus dilunasi pada November 2022.

Kendati tidak diberi jangka waktu pelunasan, tapi dengan nominal tersebut sangat memberatkan di tengah kenaikan harga bahan pokok.

Diperparah lagi dengan kondisi sang suami yang tidak memiliki mata pencaharian pasti.

"Seragam ada juga bekas kakaknya, kalau buat saya almamater juga enggak terlalu penting, kalau buat tanda sekolah ada bet sekolah nempel di seragam sama nama juga, ini kan biaya hidup sekarang lagi tinggi," tuturnya.

Penjelasan sekolah

Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Pasir Jambu Kartika Prapti Diah Handayani menampik adanya isu pembelian seragam secara paksa di lingkungan sekolahnya.

Kartika menyebutkan, siswa baru yakni kelas 7 memang membutuhkan seragam baru, tapi bukan seragam nasional (putih-biru dan putih-putih) yang bisa dijual di pasaran.

Seragam yang dibeli di sekolah yakni seragam batik, baju olahraga, baju koko, serta atribut seragam.

Kartika pun membenarkan, nominal yang diajukan kepada orangtua siswa sebesar Rp 800.000.

Namun, ia dan guru yang lain tidak menyampaikan langsung nominal tesebut pada orangtua murid.

Orangtua murid, kata dia, mengetahui nominal itu setelah berkomunikasi dengan koperasi.

"Soal proses pembayaran, saya mengarahkan dan menyerahkan pada orangtua bagaimana kesepakatan dengan koperasi, ada yang dicicil berapa, dan itu pun sampai sekarang belum ada seragamnya," katanya ditemui Kompas.com, Rabu (14/9/2022).


Selain itu, kata dia tidak ada pemaksaan untuk pembelian seragam khas sekolah SMPN 1 Pasir Jambu.

"Kami mempersilahkan orangtua untuk menyelesaikan pembayaran seragam dengan kesepakatan yang dibangun dengan koperasi, apakah mau dicicil dengan batas waktunya kapan, itu dipersilahkan," ungkapnya.

Tidak hanya itu, ia mempersilakan orangtua siswa yang masih memiliki seragam batik atau baju olahraga bekas alumni SMPN 1 Pasir Jambu untuk digunakan kembali.

"Jadi bagi orangtua yang merasa seragam batik, baju olahraganya bekas kakaknya masih layak pakai untuk adiknya yang sekarang bersekolah lagi di sini, kami persilahkan," terangnya.

Terkait jas almamater, ia membenarkan itu diperuntukan untuk kelas 7, namun disiapkan bagi yang menginginkannya saja.

"Benar untuk kelas 7 saja, tapi bagi yang mau. Awalnya karena OSIS-nya menggunakan almamater, nah akhirnya banyak siswa yang mau, tapi sekali lagi dikhususkan untuk yang mau saja," tegasnya.

Kartika menjelaskan, awal mula dialog terkait seragam dengan orangtua terjadi kala sekolah mengadakan parent meeting.

Saat itu, kata Kartika, sekolah berniat menyampaikan terkait aturan, serta pembelajaran siswa di sekolah.

"Kalau ke anak sudah disampaikan waktu MPLS," tuturnya.

Di sela kegiatan itu, ada beberapa orangtua yang menanyakan terkait seragam khas sekolah.

Saat itu, ia menyampaikan sekolah memiliki aturan terkait kedisiplinan salah satunya dengan menerapkan penggunaan seragam yang berbeda setiap harinya.

"Kemudian bagaimana dengan orang tua yang tidak mampu, kebetulan kami sudah sepakat dengan koperasi sekolah menyoal seragam, maka kami arahkan para orang tua untuk berkomunikasi langsung dengan pihak koperasi," imbuhnya.

Kompas.com mencoba menghubungi Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung terkait hal itu, tapi hingga berita ini ditulis masih belum ada respons.

Kendati begitu, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengatakan akan memberikan sanksi terhadap SMP yang memaksakan kebijakan tersebut.

"Enggak boleh itu, enggak boleh, nanti saya kasih sanksi ya," katanya kepada awak media saat dijumpai di Hotel Sutan Raja.


Respons DPRD Kabupaten Bandung

Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung Maulana Fahmi menyesalkan adanya penjualan secara paksa jas almamater serta seragam oleh pihan sekolah kepada murid baru.

Ia mengatakan, biasanya pengadaan seragam dibebankan pada masing-masing orangtua.

"Biasanya seragam itu urusan masing-masing siswa. Memang seragam itu normatif, misalnya baju olah raga," ujar  Fahmi ketika dihubungi.

Menurutnya, pengadaan seragam seperti baju olahraga dan batik masuk dalam kategori wajar apabila diadakan oleh sekolah.

Namun, jika pakaian atau seragam lainnya diadakan semua oleh sekolah kemudian dengan harga tinggi hal itu tidak boleh dilakukan.

"Setiap siswa oleh orangtuanya pasti sudah disediakan seragam," tambahnya.

Adanya kebijakan yang terkesan memaksa orang tua murid membeli jas almamater itu, kata dia, harusnya tidak dilakukan.

Fahmi menilai, jas almamater bukan menjadi kebutuhan yang bisa menunjang proses belajar siswa, apalagi bagi SMP.

"Jas almamater itu tidak menunjang proses belajar, itu hanya biar terlihat rapi saja. Apalagi kalau orang tua murid dipaksa harus beli, saya kira itu tidak relevan dan tidak menunjang proses pembelajaran di sekolah," tambahnya.

Ia berjanji akan memanggil dan menegur pihak Disdik, selain untuk membatalkan kebijakan itu ia juga akan melakukan pemantauan terkait adanya kebijakan tersebut.

"Nanti kami akan komunikasikan dengan Disdik untuk melakukan pemantauan. Jangan sampai hal-hal tidak penting, tidak prioritas dipaksakan," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/09/14/143559578/siswa-smp-di-kabupaten-bandung-diduga-dipaksa-beli-seragam-kepsek-beri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke