Salin Artikel

Perjalanan Topeng Banjet Karawang, dari Primadona Panggung hingga Gerobak Keliling

Suara tabuhan Goong, Gendang, dan Kenong saling beradu mengiringi lawakan, bersahut-sahutan dengan gelak tawa penonton.

Pria 63 tahun itu merupakan Pimpinan Gentra Asih Topeng Banjet asal Telagasari, Karawang, Jawa Barat.

Di usia senjanya, Apih Dani, panggilannya, berkisah tentang peliknya mengadu nasib menjadi pelaku seniman Topeng Banjet.

Apih Dani jatuh cinta dengan kesenian Topeng Banjet setelah menjadi penonton setia dari 1980 hingga 1990-an. Gentra Asih kemudian lahir pada 2003.

Pernah jadi primadona

Apih Dani berkisah, dahulu Topeng Banjet sangat populer di Karawang. Bahkan jadi primadona di panggung. Kehadirannya jadi puja-puji warga.

Di berbagai wilayah, pertunjukan Topeng Banjet serupa konser musik yang dihadiri ratusan penonton.

“Kalau ada topeng warga berbondong-bondong datang untuk menontonnya, sama kayak wayang golek,” ceritanya.

Untuk harga pementasan, kata Apih Dani, Rp 5 juta tiap pentas. Itu yang megah.

“Tapi kalau harga pentas tergantung permintaan kadang ada yang minta ratusan ribu (rupiah), kadang Rp 2 juta,” katanya.

Gentra Asih sudah merasakan berbagai pentas di ratusan acara di Karawang. Baik megah hingga kecil.

“Kalau dihitung mah ratusan panggung,” kenangnya.


Mengamen keliling kampung dengan gerobak

Setelah jadi primadona, kini Topeng Banjet mulai kehilangan pamor dan penggemar. Penontonnya kebanyakan orang tua.

“Anak muda paling sedikit yang nonton, mungkin tidak menarik dan dipandang kuno,” ujar dia.

Dari hal itu, ia berupaya untuk tetap eksis dengan cara mengamen keliling kampung menggunakan gerobak.

Sekali mengamen ia mendapatkan rata-rata penghasilan Rp 200.000 sampai Rp 300.000.

Kemudian dibagi ke tim yang beranggotakan 20 orang. 20 orang tersebut dibagi dua tim, yakni tim inti selaku penari, aktor dan pemusik.

Sementara itu tim lainnya sebagai tim lapangan yang bertugas mencari sumbangan dari warga sekitar.

“Jadi kalau tim inti itu ada honornya, biasanya dapat Rp 25.000 dan kalau tim lainnya itu dia dapat pembagian dari upah sumbangan biasanya dapat Rp 20.000,” kata dia.

Apih Dani dan timnya mulai mengamen dari 11.00 WIB dari tempat tinggalnya di Telagasari.

Gerobak digunakan sebagai tempat penyimpanan alat musik dan pementasan. Gerobak itu lalu diderek dengan motor berkeliling perkampungan.

Saat berada di kampung yang dipilih, tim Apih Dani lalu berkoordinasi dengan RT setempat, meminta izin pentas. Setelah diizinkan ia lalu menyiapkan segala peralatan pentas.

"Kadang-kadang sampai Subang," ujar dia.


Meski penghasilan dari pentas tidak seberapa, Apih mengaku tetap senang dan bahagia sebagai pelaku Topeng Banjet.

“Karena senang dan memang ingin mempromosikan Topeng Banjet, jadi disyukuri saja meski dapat pendapatan cuma cukup untuk beli bensin,” tuturnya.

Ia berharap, seni Topeng Banjet bisa bertahan dan kembali digandrungi oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

“Saya berharap semoga Topeng Banjet bisa digemari lagi masyarakat dan bisa bertahan meski saya juga tidak tahu kalau nanti para pelaku seperti saya sudah tidak ada, dan penggantinya siapa?" ungkapnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/09/27/065545878/perjalanan-topeng-banjet-karawang-dari-primadona-panggung-hingga-gerobak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke