Salin Artikel

Cerita Petani Kopi di Garut soal Kulit Kopi, Dulu Sampah Kini Jadi Cuan Tambahan

GARUT, KOMPAS.com – Sejak 2015, Asep Rustiana Hidayat yang menjabat Ketua Kelompok Tani Bina Bakti di Desa Tanjung Karya Kecamatan Samarang Garut, bersama puluhan anggotanya mulai mengembangkan tanaman kopi di kawasan kaki Gunung Guntur hingga kawasan kaki pegunungan Kamojang.

Tak hanya menanam pohon kopi, mereka juga mengolah kopi hasil panen hingga siap saji dengan kualitas premium.

Selain mendapatkan keuntungan dari menjual kopi, para petani juga mendapat penghasilan tambahan dari olahan kulit kopi yang sudah dilakoni beberapa tahun terakhir.

Dulunya, kulit kopi hanya dianggap sampah. Ditumpuk begitu saja dan sama sekali tidak dimanfaatkan.

“Kalau dalam masa panen selama tiga bulan sekali, tiap hari limbah kulit kopi bisa mencapai 5 sampai 7 ton. Itu (kulit kopi, dulu) ditumpuk saja, dikumpulkan di satu tempat,” kata Asep saat ditemui akhir pekan lalu di secretariat Kelompok Tani Bina Bakti.

Sebagai ketua kelompok tani, Asep memang menerima hasil panen kopi dari anggotanya.

Oleh Asep, biji kopi segar (chery) tersebut pun dikupas dari kulitnya dan kemudian bijinya diolah hingga menjadi kopi siap seduh.

Kulit kopi ini, sebelumnya menjadi limbah yang sempat membuat bingung dirinya karena terus menumpuk tanpa bisa dimanfaatkan.

“Memang (kulit kopi) bisa diolah jadi teh cascara, tapi pasarnya tidak jelas, karena memang belum dikenal dan orang belum terbiasa minum teh kulit kopi,” katanya.

Melihat kulit kopi yang menumpuk, Asep bersama para anggota kelompok taninya pun melakukan berbagai percobaan mengolah kulit kopi tersebut, hingga akhirnya mendapatkan formula untuk menjadikan kulit kopi jadi pupuk organik yang belakangan laku dijual.

“Saya penyuluh swadaya keliling, jadi sering ikut pelatihan dan melatih juga sampai keluar Jawa Barat,” kata Asep ketika ditanya darimana mendapatkan formula pengolahan kulit kopi hingga menjadi pupuk organik.

Untuk mengolah kulit kopi menjadi pupuk organik, para anggota kelompok tani memanfaatkan bahan campuran yang bisa didapat di sekitar kampung. Mulai dari kotoran domba, bubuk dedak penggilingan padi, kapur pertanian, air cucian beras, molase hingga mikroorganisme.

Semua bahan tersebut dicampur dengan kulit kopi, kemudian difermentasi selama satu bulan.

“Setelah satu bulan di fermentasi, lalu dikeringkan, digiling dan disaring agar bersih, lalu dikemas untuk dijual,” katanya.

Sebelum dijual, menurut Asep pupuk buatan kelompok taninya, digunakan sendiri oleh para petani kopi yang jadi kelompok taninya.

Pupuk tersebut, biasa digunakan untuk menggemburkan tanah dan mengembalikan unsur hara tanah dan mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga biaya yang dikeluarkan para petani bisa berkurang.

“Untuk petani sendiri, tentu ada nilai ekonomisnya, minimal pengeluaran buat beli pupuk berkurang,” katanya.

Setelah digunakan para petani dalam kelompok taninya, sejak beberapa tahun ini, menurut Asep dirinya juga menerima permintaan dari banyak petani yang bertani tanaman holtikultura. Dalam satu tahun, menurut Asep permintaannya bisa mencapai 10 ton.

“Kadang kita kesulitan juga memenuhi permintaan karena memang kita belum bisa mengatur manajemen produksinya,” katanya.

Pupuk organik dari campuran kulit kopi produksinya, menurut Asep dijual seharga Rp 1.200 per kilogramnya, harga ini tentu jauh lebih murah dibanding pupuk kimia yang selama ini banyak digunakan oleh para petani.

“Memang kekurangannya lebih lambat penyerapannya, tapi setelah diserap, lebih awet tidak seperti pupuk kimia yang langsung terserap oleh tanah tapi harus diulang pemupukannya hingga beberapa kali,” katanya.

Fenomena tumbuhnya petani kopi di Garut yang mengolah langsung hasil panen hingga jadi kopi siap minum yang kemudian juga menimbulkan masalah baru karena ada limbah kulit kopi yang jumlahnya cukup besar, menarik perhatian Universitas Garut untuk memberi pendampingan pada kelompok tani kopi.

“Di Desa Tanjung karya saja, rata-rata satu tahun ada 200 sampai 300 ton limbah kulit kopi, para petaninya, sekarang sudah menggagas mengolah kulit kopi jadi pupuk organik, kita coba berikan dampingan dalam program pengabdian masyarakat,” jelas Muslim Al Kautsar, Ketua Tim Penyuluhan dan Pendampingan Universitas Garut.

Menurut Muslim, Ada dua fakultas yang dilibatkan dalam program pengabdian pada masyarakat yang dilakukan Universitas Garut bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi ini yaitu Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian yang berupaya apa yang telah dilakukan para petani bisa lebih berkembang dan memberi banyak manfaat pada masyarakat.

“Kita coba mengkolaborasikan mulai dari teknik proses pembuatan pupuk, manajemen produksi, manajemen keuangan hingga manajemen pemasaran sampai packaging pupuk,” katanya.

Menurut Muslim, meski telah memulai produksi pupuk organik, para petani masih menghadapi masalah dalam hal manajemen produksi dimana petani belum bisa mengatur ketersediaan bahan baku, penyimpanan bahan baku hingga alat-alat produksi dan belum adanya uji labolatorium kandungan pupuk yang diproduksi.

Lewat program pengabdian masyarakat ini, Muslim berharap masalah-masalah yang dihadapi para petani tersebut, bisa ikut dibantu pihaknya agar pupuk organik yang diproduksi para petani, bisa diterima pasar dengan kualitas yang tentunya teruji hingga akhirnya apa yang dilakukan para petani bisa jadi contoh dalam pengolahan limbah kulit kopi.

“Ini langkah awal yang mudah-mudahan berkesinambungan hingga bisa jadi percontohan dalam pengolahan limbah kulit kopi, karena memang potensinya cukup besar,” katanya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/10/09/161236678/cerita-petani-kopi-di-garut-soal-kulit-kopi-dulu-sampah-kini-jadi-cuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke