Salin Artikel

Muka Air Tanah di Bandung Turun hingga 60 Persen, Industri Diduga Jadi Penyebab

BANDUNG, KOMPAS.com - Sepanjang wilayah Cileunyi hingga Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengalami penurunan muka air tanah (cone of depression) dan masuk kategori rawan.

Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Rita Susilawati mengatakan, penurunan muka air tanah dengan kondisi rawan itu disebabkan pengambilan air yang terlalu berlebihan. 

Rita mengungkapkan, berdasarkan Peta Konservasi Air Tanah Cekungan Air Tanah  (CAT) Bandung–Soreang yang disusun Badan Geologi pada 2010, di daerah Cileunyi dan sekitarnya terdapat penurunan muka air tanah tertekan (air tanah dalam atau artesis) hingga sekitar 60 meter di bawah muka tanah setempat.

Sehingga daerah tersebut, sambung dia, merupakan daerah rawan dengan tingkat penurunan 40 persen hingga 60 persen dari kondisi awal.

"Fenomena tersebut terlihat di beberapa tempat, antara lain di sekitar daerah Cileunyi hingga daerah Rancaekek dan sekitarnya," ujarnya melalui pesan singkat, Senin (6/2/2023).

Menurutnya, daerah Rancaekek dan sekitarnya memiliki sistem akuifer tertekan (akuifer dalam atau artesis) pada kedalaman sekitar 50 hingga 150 meter.

Daerah ini secara hidrogeologis merupakan daerah lepasan air tanah CAT Bandung–Soreang.

"Pola aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) pada daerah dataran Rancaekek dan sekitarnya menunjukkan adanya fenomena kerucut penurunan muka air tanah yang mengindikasikan adanya pengambilan air tanah yang sangat intensif," ujar dia.

Bahkan, lanjut dia, wilayah Rancaekek mengalami penurunan muka air tanah tertekan (air tanah dalam/artesis) hingga lebih dari 70 meter di bawah muka tanah setempat.

Hal itu menyebabkan daerah tersebut merupakan daerah rawan hingga rusak dengan tingkat penurunan 40 persen hingga lebih dari 80 persen dari kondisi awal.

Pihaknya menyebut, setelah tahun 2010, Badan Geologi tidak melakukan kegiatan pemantauan kondisi air tanah di daerah Cileunyi dan Rancaekek yang masuk ke dalam CAT Bandung-Soreang.

Kewenangan itu, sambung Rita, menjadi kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Barat.

"Saat ini kewenangan pengeloaan air tanah berubah menjadi berdasaran wilayah sungai, dan daerah Bandung yang masuk ke dalam wilayah Sungai Citarum, menjadi kewenangan pusat, sehingga pada tahun 2023 ini Badan Geologi kembali akan melakukan kegiatan pemantauan air tanah di Bandung dan sekitarnya," tambahnya.

Kondisi Air

Rita menambahkan, penyebab rusaknya kondisi air tanah di sepanjang Cileunyi hingga Rancaekek itu, disebabkan pengambilan air tanah yang berlebih di daerah tersebut.

Mengingat di wilayah Rancaekek banyak terdapat bangunan industri, hal itu tak menutup kemungkinan menjadi penyebabnya.

Namun, sambung Rita, perlu dievaluasi lanjutan apakah industri menjadi penyebab terjadi penurunan muka air tanah di Cileunyi hingga Rancaekek.

"Untuk mengetahui apakah industri penyebab utamanya masih perlu evaluasi lanjutan, karena  jika industri menaati pengaturan pengambilan air tanah yang dituangkan dalam izin, seharusnya tidak menimbulkan masalah," ungkapnya.

Pihaknya menyoroti maraknya pengambilan air tanah ilegal dan tidak berizin.

"Yang harus diperhatikan adalah pengambilan  air tanah ilegal atau tidak berizin yang masih marak. Sumur-sumur bor tidak berizin tidak bisa dikontrol debit pemompaan air tanahnya, sehingga berpotensi  menjadi penyebab rusaknya kondisi air tanah di suatu wilayah," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/02/06/114421178/muka-air-tanah-di-bandung-turun-hingga-60-persen-industri-diduga-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke