Salin Artikel

Kisah Nazarudin, 40 Tahun Jadi Sopir Taksi di Stasiun Bandung, Dulu Berjaya, Kini Tergerus Zaman

Wajar saja, sejak subuh, belum ada satu pun penumpang kereta api yang mau menaiki taksinya.

Meski begitu, ia tetap tenang. Sebatang rokok kretek yang dihisapnya seolah menyadarkannya bahwa perlu ketenangan dan kesabaran lebih untuk bisa mendapatkan penumpang.

"Emang saya kalau udah shalat subuh di rumah, langsung ke sini. Aktivitas memang gitu sejak dulu," kata Nazarudin, saat berbincang dengan Kompas.com, di Stasiun Kereta Api Bandung, Jumat (17/3/2023).

Kendati gelisah lantaran belum mendapatkan penumpang, Nazarudin tak menolak saat Kompas.com mencoba menggali perjalanannya sebagai sopir taksi konvensional di Stasiun Kereta Api Bandung, Jawa Barat.

Perjalanan Nazarudin dimulai ketika sang ayah meninggal saat Nazarudin menginjak kelas 3 SMP.

Saat itu, ia tak punya pilihan selain berupaya membantu sang ibu untuk mencari uang guna biaya hidup sehari-hari.

Keahlian tak punya, apalagi keterampilan. Namun, semua itu tak menjadi halangan baginya agar bisa membantu perekonomian keluarga.

Nazarudin kecil langsung belajar mengendarai mobil. Keputusan itu diambil lantaran dia berpikir hanya itu yang bisa dilakukan di saat usia yang masih terbilang dini dan keadaan yang menjepit.

"Semua dimulai tahun 1983, karena memang saya putus sekolah dari kelas 3 SMP. Ayah saya udah meninggal, jadi saya harus bantu ibu saya. Waktu itu saya belajar nyetir, akhirnya saya narik taksi aja di stasiun," jelasnya.

Saat itu kondisi transportasi publik belum seperti sekarang. Pemilik kendaraan roda empat masih terbilang jarang.

Profesi sebagai sopir taksi era itu sangat menjanjikan. Apalagi, taksi yang mangkal di stasiun kereta api.

Saat itu merupakan masa keemasannya, zaman di mana kendaraan umum seperti taksi menjadi primadona bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Kota Bandung.

"Kalau dulu saya bisa dapet Rp 200.000 sampai Rp 300.000 sehari. Nilai segitu kan zaman dulu besar, bisa menafkahi keluarga sampai menyekolahkan anak ke jenjang yang tinggi," kata dia.

Paguyuban

Pada tahun 1996, kata dia, pihak KAI mengakomodir para sopir taksi dalam sebuah wadah paguyuban.

"Sebetulnya kami itu di sini sebagai sopir taksi karena sudah dari dulu. Akhirnya KAI juga menerima kami," terangnya.

Nazarudin mengatakan, rata-rata penumpang melihat dan menganggap dia dan sopir taksi lainnya merupakan bagian dari KAI atau fasilitas yang diberikan KAI.

Penilaian itu bukan hanya karena kostum semata, tapi karena KAI meminta para sopir taksi di Stasiun Bandung yang tergabung dalam Paguyuban, bersikap ramah dan santun kepada penumpang.

"Kurang lebih tahun 1996 kita diakomodir. Sekarang itu kemungkinan penumpang itu sudah tidak melihat kami sebagai sopir taksi lagi, tapi sudah bagian dari KAI. Soalnya mereka juga menerima kami, kami juga sama dengan porter harus ramah tamah," ungkapnya.

Tiga anak jadi sarjana

Meski hanya berprofesi sebagai sopir taksi, ternyata setiap tetes keringat dari bekerja keras sejak tahun 1983, telah membuahkan hasil.

Nazarudin mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga ke bangku perkuliahan.

Tak hanya sekadar kuliah, kampus tempat anak-anak Nazarudin belajar juga cukup ternama di Bandung.

"Yang kuliah pertama di Unpas, ngambil ekonomi tapi sekarang sudah meninggal. Almarhum sempat kerja di Kalbe. Kedua ada yang di NHI, ngambil perhotelan. Dia sempat kerja di Bali, tapi pas bom Bali saya suruh pulang. Nah, yang ketiga kuliah di YPKP. Sekarang dia kerja di OJK," ungkapnya.

Bagi Nazarudin, keberhasilan menyekolahkan anak merupakan sebuah kebanggan.

Ia seolah membuktikan pekerjaan apa pun bisa mengantarkan seseorang meraih kesuksesan.

Saat ini, Nazarudin hanya memetik hasil. Dulu, kata dia, ia mesti mencicil mobil untuk bekerja sambil mencari nafkah untuk membesarkan keenam anaknya.

Kini, anak-anaknya yang justru merawat dan mengurus Nazarudin.

"Sekarang diambilkan anak, katakanlah anak saya sudah berjaya ya, dibeliin. Sekarang enggak terlalu ngejar setoran, kalau dulu punya orang terus. Sekarang saya tinggal sama dengan anak yang di OJK di jalan Kopo-Soreang," tuturnya.

Tergerus zaman

Ibarat sejarah, masa kejayaan Nazarudin dan sopir taksi di Stasiun Bandung telah tergilas zaman.

Selain masyarakat sudah memiliki kendaraan pribadi, para sopir taksi konvensional juga dihantam teknologi.

Kehadiran taksi online tentu saja menjadi kompetitor kuat mereka.

"Memang tergilas zaman. Jadi istilahnya ada datang Grab, datang GoCar, yang pakai aplikasi itu. Sedangkan saya kan awam, enggak ngerti. Pernah masuk juga, tapi sulit pahamnya. Akhirnya dikeluarin lagi," bebernya.

Tentu saja hal itu berdampak dari sisi penghasilan.

Dulu, penghasilan bisa sampai ratusan ribu per hari, tapi kini hanya puluhan ribu saja.

"Sekarang itu enggak pasti. Kemarin saja saya narik cuma sekali, itu juga Rp 35.000 karena ingin makan doang, sangat jauh sekali," ucapnya.

Meski pendapatan semakin sedikit, Nazarudin tetap bersyukur. Paling tidak, penghasilannya itu bisa digunakan membeli hadiah untuk cucu.

Nazarudin tidak menyalahkan siapa pun meski kini penghasilannya menurun karena kalah dari taksi online.

Dia sangat menyadari taksi konvensional sudah tergilas zaman.

Harapan

Nazarudin punya harapan agar sopir taksi konvensional di Stasiun Bandung bisa diangkat menjadi pegawai KAI.

"Saya minta diakui aja oleh PT KAI statusnya sebagai sopir KAI. Jadi ada yang mengarahkan lah dari dalam. Toh, kami enggak terlalu jauh kalau nego harga. Jadi, kalau sudah diakui, itu sistem dan yang lainnya sudah ada di KAI dan aman. Kalau gitu bisa, kan 50 persen ke kita, 25 persen ke online gitu," ujar Nazarudin.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/18/102904778/kisah-nazarudin-40-tahun-jadi-sopir-taksi-di-stasiun-bandung-dulu-berjaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke