Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Tahun Meneliti Ciplukan, 2 Peneliti ITB dan Unjani Hasilkan Obat Peredam Gejala Lupus

Kompas.com - 18/10/2019, 11:14 WIB
Reni Susanti,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Dua peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) membuat obat herbal peredam gejala lupus dari cecendet atau ciplukan.

Salah satu peneliti, Prof Afifah Sutjiatmo mengatakan, peneltian cecendet dilakukan selama empat tahun.

“Penelitiannya cukup lama, sekitar empat tahun,” ujar Elin di sela-sela seminar nasional Farmasi Unjani ke-4 di Bandung, Jumat (18/10/2019).

Cecendet atau ciplukan (physalis angulata) banyak ditemukan di Indonesia. Di setiap daerah, cecendet memiliki nama berbeda.

Ada yang menyebutnya cecenet atau cecendet, nyurnyuran, kopok-kopokan, leletopan, dedes dan lainnya. Cecendet selama ini digunakan untuk diabetes dan anti radang.

Selama penelitian, Elin dan peneliti lainnya Prof Elin Yulinah, tidak menemukan banyak kendala. Sebab bahan bakunya mudah, tapi harus berstandar agar hasilnya sama. Begitupun dengan dosis, harus tepat. 

Dari hasil penelitian, cecendet bisa digunakan sebagai alternatif terapi lupus yang aman.

Produk berjenis jamu ini bisa meredakan nyeri, memelihara, dan meredam gejala lupus.

“(Obat ini) tidak bisa menyembuhkan 100 persen, karena lupus itu penyakit autoimun. Obat ini dikonsumsi setiap hari bersamaan dengan obat standar dokter,” ucap dia.

Tahun lalu, sambung Elin, obat herbal itu diproduksi secara massal oleh Kimia Farma. Produk itu diberi nama Lesikaf.

“Penelitian ini juga melibatkan SDF (Syamsi Duha Foundation) yang bergerak di bidang lupus,” ujar Elin.

Penelitian herbal

Cecendet, merupakan satu tanaman Indonesia yang berhasil diteliti.

Saat ini, dari 30.000 spesies tanaman herbal, baru 1.000 yang bisa dimanfaatkan.

“Baru 5 persen yang dimanfaatkan, sedikit sekali. Itu artinya, potensinya masih sangat besar,” ungkap Direktur Registrasi Obat Tradisional Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Maya Agustina Andarini.

Baca juga: Kisah Kampung Apung yang Dahulu Rimbun Penuh Pohon, Kebun, dan Empang...

 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com