Namun dalam praktiknya, pendidikan menyeragamkan. Salah satunya melalui peraturan yang mengeneralisir siswa.
Akibatnya, siswa yang tidak mampu matematika dianggap bodoh. Padahal minat dan bakat siswa di seni atau olahraga.
Baca juga: Cerita Guru Honorer di Samarinda, Ke Sekolah Jalan Kaki 2 Km, 10 Tahun Mengajar Digaji Rp 800.000
Hingga akhirnya, pada sebagian anak mereka tidak tahu bakat dirinya apa dan menjadi imitasi orang lain.
Sebagian siswa lainnya merasa, ketika tidak mendapat dukungan dan keunikannya tidak diapresiasi, mereka akan mencari pergaulan yang bisa menerima dirinya.
Sehingga sekolah seolah menjadi penjara.
“Menurut Rudolf Dreikurs, anak-anak yang berperilaku buruk sebetulnya adalah anak-anak yang tidak mendapatkan dukungan dari orang dewasa,” imbuhnya.
Baca juga: Di Sekolah Ini, Hanya Ada 1 Ruang Kelas dan 1 Guru untuk Seluruh Siswa
Persoalannya, banyak guru merasa terkerangkeng sistem dengan penyeragaman aturan hingga target nilai ujian nasional (UN) yang tinggi.
Kondisi ini membuat guru merasa tidak berdaya.
Hal itu diakui salah satu peserta pelatihan, guru BP SMAN 20 Bandung, Euis Sopiah. Ia mengatakan, aturan di sekolah menyeragamkan setiap anak.
Kondisi ini terkadang berbenturan dalam memberikan pelayanan kepada siswa yang memiliki potensi beragam.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan