BANDUNG, KOMPAS.com – “Kamu dengerin saya ngomong enggak?” ujar seorang guru dengan nada tinggi.
Kalimat yang biasa diucapkan orangtua atapun guru pada siswanya tersebut diikuti gelak tawa puluhan guru dalam Class Series Jabar Masagi di Dinas Pendidikan Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).
Mereka memuji akting guru tersebut saat diminta Psikolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ifa H Misbach, mempraktekan kalimat yang harus dihindari orangtua dan guru pada anak maupun siswanya.
“Itu jenis pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban bahkan disertai bullying verbal,” ujar Ifa saat membawakan materi “Mengapa Remaja Suka Memberontak?”.
Baca juga: Dikepung Tambang Batu Bara, SD Filial di Samarinda Miliki 17 Siswa dan 2 Guru
Ifa mengungkapkan, kalimat tersebut bisa diganti menjadi “Bolehkah kamu mendengar saya yang sedang bicara?” dengan nada lebih rendah.
Bila dipraktekkan ke anak dalam keseharian, bisa memberikan perubahan yang luar biasa untuk pendidikan karakter anak.
“Itu hanya contoh kecil. Ada sembilan jenis pertanyaan yang harus dihindari,” ungkapnya.
Kesembilan pertanyaan tersebut tanpa disadari mengandung makna menghakimi, mendikte, menyindir, merendahkan harga diri, membandingkan, menyalahkan, mengancam, dan menyudutkan orang.
Baca juga: Kisah Guru di Pedalaman Papua, Gaji Habis Beli Air dan Minyak Tanah
Idealnya, sambung Ifa, pendidikan memberikan ruang keberagaman bagi siswa. Apalagi siswa berangkat dari keluarga yang berbeda dengan keunikan dan potensi yang berbeda pula.
Guru berfungsi sebagai pelatih emosi yang membantu siswa menjadi bagja (bahagia). Guru bertugas untuk menemukan potensi keunikan dan kekuatan siswa yang beragam.
Namun dalam praktiknya, pendidikan menyeragamkan. Salah satunya melalui peraturan yang mengeneralisir siswa.
Akibatnya, siswa yang tidak mampu matematika dianggap bodoh. Padahal minat dan bakat siswa di seni atau olahraga.
Baca juga: Cerita Guru Honorer di Samarinda, Ke Sekolah Jalan Kaki 2 Km, 10 Tahun Mengajar Digaji Rp 800.000
Hingga akhirnya, pada sebagian anak mereka tidak tahu bakat dirinya apa dan menjadi imitasi orang lain.
Sebagian siswa lainnya merasa, ketika tidak mendapat dukungan dan keunikannya tidak diapresiasi, mereka akan mencari pergaulan yang bisa menerima dirinya.
Sehingga sekolah seolah menjadi penjara.