Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warung Mak Eha yang Melegenda: Pelanggannya Mulai Orang Belanda, Keluarga Soekarno hingga Artis

Kompas.com - 04/12/2019, 09:55 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Seperti tahun-tahun sebelumnya. Siang itu, lorong Pasar Cihapit, Kota Bandung, begitu ramai.

Orang-orang mengantre makanan yang disajikan secara parasmanan di atas meja. Ada gepuk, ayam goreng, ayam bakar, rendang, pepes jamur, sayur kepala kakap, dan tentunya tiga jenis sambal.

Di belakang meja, terlihat para pelayan begitu sibuk. Sedangkan di bagian kasir terlihat sang pemilik, Mak Eha.

Di usianya yang ke-89 tahun, ia masih terlihat bugar. Ia begitu gesit menghitung jumlah yang harus dibayar pelanggan. Ia pun akan mengingatkan jika ada makanan yang hampir habis.

“Segini mah (antrean) berkurang neng. Sekarang, pembelinya sedikit karena banyak warung makan,” ujar Mak Eha mengawali perbincangan dengan Kompas.com, belum lama ini.

Sambil membenarkan hijabnya, Mak Eha menunjukkan beberapa barang dan menceritakan kisah hidupnya dan Warung Ibu Eha (Mak Eha).

Warung ini dibuka thun 1947 oleh ibu kandungnya, Ibu Nok. Kemudian, sepulangnya Mak Eha dari Agresi Militer II di Yogyakarta, ia meneruskan warung tersebut.

“Dulu emak bagian koperasi (di TNI). Nyari beras ke sana ke mari untuk membantu kebutuhan para tentara. Di sana juga (Yogyakarta) bertemu bapak (suaminya yang juga tentara, Abdurrahman),” tuturnya.

Mak Eha mengungkapkan, tak ada yang berubah dari warungnya, baik menu maupun tempat. Bahkan minyak goreng dan bahan makanan lain yang digunakan masih sama.

Yang berubah hanya sebagian alat masak. Dulu ia menggunakan hawu (perapian). Kini ia menggunakan kompor gas.

Karena kalau pakai perapian ia harus memasang cerobong asap dan itu tidak memungkinkan.

Orang Belanda

Sejak berdiri, warung nasi ini selalu diburu pembeli. Orang Belanda yang masih ada di Indonesia menjadi pelanggan warung ini di awal pembukaan.

Ada beberapa menu yang disukai orang Belanda, seperti kentang ongklok, yakni kentang rebus yang penyajiannya dicampur susu murni. Namun menu itu kini tak dijual.

Selain orang Belanda, warung ini diburu kaum pribumi. Puncaknya di tahun 1960-1970an. Pada tahun-tahun itu, setiap hari warungnya menghabiskan 1 kuintal beras.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com