KOMPAS.com - Diberitakan sebelumnya, Mia Dwi Susilowati kehilangan dua laki-laki sandaran hidupnya, ayah dan suami, di saat dirinya sedang berbadan dua.
Ayahnya, Joyo, tutup usia karena sakit saat usia kandungannya menginjak empat bulan. Tiga bulan kemudian, suaminya, Haryanto, meninggal setelah mengalami kecelakaan sesaat setelah mengantar Mia ke tempat kerja.
Musibah yang datang beruntun dan mendadak, ditambah dengan syok, trauma, serta perasaan bersalah, mendorong Mia jatuh ke lembah depresi.
Baca juga: Rekonstruksi Ibu Kandung Bunuh Bayi 9 Bulan, Hidung Korban Ditekan hingga Memar agar Telan Racun
Kondisinya yang sedang hamil memperburuk gangguan kejiwaannya. Dan bak pisau bermata dua, depresi juga berbalik mengganggu kehamilannya.
Perjuangan Mia melawan depresi tidak mudah meski ia telah berkonsultasi dengan psikiater.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), perinatal adalah periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan.
Baca juga: Ibu Kandung Diduga Bunuh Bayi 9 Bulan, Selingkuhan Jadi Otak Pembunuhan
Jika tidak terdeteksi sejak awal, akan terjadi keterlambatan penanganan dan proses penyembuhan.
Nyawa sang ibu dan keselamatan anaknya pun menjadi taruhan, seperti yang terjadi dalam dua kasus di atas.
Di Bandung, sejumlah ibu dengan perinatal mental health disorder berjuang menyembuhkan diri di tengah stigma dan kesadaran masyarakat yang minim. Ini kisah mereka.
Richa Hadam merasakan kebahagiaan saat hamil anak kedua. Terlebih, kehamilan ini sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya.
Namun berbeda dengan yang pertama, kehamilan kedua ini diiringi perasaan cemas dan ketakutan berlebih.
Richa menduga, perasaan itu muncul karena sifatnya yang jauh lebih perfeksionis dibanding saat mengandung anak pertama. Pada masa kehamilan, Richa juga mengaku lebih sensitif dan mudah marah.
Baca juga: Enam Hari Dirawat, Ibu dan Bayi Baru Lahir di Tegal yang Positif Covid-19 Kondisinya Membaik
Anxiety disorder atau gangguan kecemasan yang dirasakan Richa semakin menjadi pascamelahirkan.
Richa sendiri menyadari ada yang salah pada dirinya, tapi dia belum memahami "penyakit" apa yang diidapnya.