Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Perempuan Penyitas Depresi Pasca-melahirkan: Saya Takut Anak Saya Mati (2)

Kompas.com - 16/04/2021, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Diberitakan sebelumnya, Mia Dwi Susilowati kehilangan dua laki-laki sandaran hidupnya, ayah dan suami, di saat dirinya sedang berbadan dua.

Ayahnya, Joyo, tutup usia karena sakit saat usia kandungannya menginjak empat bulan. Tiga bulan kemudian, suaminya, Haryanto, meninggal setelah mengalami kecelakaan sesaat setelah mengantar Mia ke tempat kerja.

Musibah yang datang beruntun dan mendadak, ditambah dengan syok, trauma, serta perasaan bersalah, mendorong Mia jatuh ke lembah depresi.

Baca juga: Rekonstruksi Ibu Kandung Bunuh Bayi 9 Bulan, Hidung Korban Ditekan hingga Memar agar Telan Racun

Kondisinya yang sedang hamil memperburuk gangguan kejiwaannya. Dan bak pisau bermata dua, depresi juga berbalik mengganggu kehamilannya.

Perjuangan Mia melawan depresi tidak mudah meski ia telah berkonsultasi dengan psikiater.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), perinatal adalah periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan.

Baca juga: Ibu Kandung Diduga Bunuh Bayi 9 Bulan, Selingkuhan Jadi Otak Pembunuhan

Jika tidak terdeteksi sejak awal, akan terjadi keterlambatan penanganan dan proses penyembuhan.

Nyawa sang ibu dan keselamatan anaknya pun menjadi taruhan, seperti yang terjadi dalam dua kasus di atas.

Di Bandung, sejumlah ibu dengan perinatal mental health disorder berjuang menyembuhkan diri di tengah stigma dan kesadaran masyarakat yang minim. Ini kisah mereka.

Baca juga: 5 Fakta Mahasiswi Bunuh Bayi yang Baru Dilahirkannya, Dicekik dan Disumpal dengan Kapur Toilet, Terancam 15 Tahun Penjara

"Saya takut anak saya mati"

Richa mengaku dari luar ia terlihat 'normal', namun ia tahu di dalam dirinya ada yang 'tidak normal'.Dok. Richa Hadam Richa mengaku dari luar ia terlihat 'normal', namun ia tahu di dalam dirinya ada yang 'tidak normal'.
Richa Hadam mengaku merasa lebih sensitif dan perfeksionis saat hamil anak kedua.

Richa Hadam merasakan kebahagiaan saat hamil anak kedua. Terlebih, kehamilan ini sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya.

Namun berbeda dengan yang pertama, kehamilan kedua ini diiringi perasaan cemas dan ketakutan berlebih.

Richa menduga, perasaan itu muncul karena sifatnya yang jauh lebih perfeksionis dibanding saat mengandung anak pertama. Pada masa kehamilan, Richa juga mengaku lebih sensitif dan mudah marah.

Baca juga: Enam Hari Dirawat, Ibu dan Bayi Baru Lahir di Tegal yang Positif Covid-19 Kondisinya Membaik

Anxiety disorder atau gangguan kecemasan yang dirasakan Richa semakin menjadi pascamelahirkan.

Richa sendiri menyadari ada yang salah pada dirinya, tapi dia belum memahami "penyakit" apa yang diidapnya.

Kecemasannya semakin lama semakin besar dan sulit dikendalikan, sehingga mulai mengganggu kondisi fisik dan psikisnya.

Baca juga: Derita Orangtua Bayi yang Alami Kelainan Langka Organ Perut Keluar: Kami Tak Ada Uang Lagi

ilustrasi hamilshutterstock ilustrasi hamil
"Ada kelelahan fisik dan psikis. Misalnya, malam-malam saya terus mengawasi anak saya. Saya takut kalau dia buang air besar, saya harus cepat-cepat bersihkan, kalau tidak, takut dia iritasi."

"Dia belum nangis minta susu, saya sudah susui karena takut anak saya tidak kenyang. Saya juga jadi lebih sensitif. Kalau kata orang zaman sekarang, gampang baper," ungkap Richa.

Gangguan kecemasan yang diidap Richa berubah menjadi depresi pascapersalinan atau postpartum depression karena tidak segera ditangani.

Baca juga: Baru 2 Hari Usai Melahirkan, Ibu dan Bayi di Tegal Tertular Covid-19, Ini Dugaan Penyebabnya

Kondisi terberat dialami Richa saat muncul ketakutan meninggal yang menyebabkan terganggunya aktivitas keseharian dia sebagai seorang ibu dan juga istri.

"Saya takut kalau saya meninggal, anak saya siapa yang mengurus. Ketika mereka membutuhkan saya, siapa yang ada buat mereka. Padahal saya sehat wal'afiat, tidak sakit, tapi muncul perasaaan ketakutan akan meninggal.

"Satu lagi, saya takut menyakiti anak saya. Ketika saya jalan lewat tangga rumah, saya takut anak saya jatuh. Pikiran-pikiran negatif ini muncul di luar kemauan saya, tapi membuat saya sangat tersiksa."

Baca juga: Ayah Bunuh Bayi 40 Hari karena Ditolak Istri Saat Minta Berhubungan Badan, Begini Kronologinya

Seorang perawat menggendong bayi yang baru lahir yang dilindungi dengan pelindung wajah di tengah wabah virus corona, sebagai ilustrasi.AFP via VOA INDONESIA Seorang perawat menggendong bayi yang baru lahir yang dilindungi dengan pelindung wajah di tengah wabah virus corona, sebagai ilustrasi.
"Kalau saya ke dapur, saya takut pegang pisau dan terkena anak saya. Jadi, saya lebih baik tidak ke dapur. Saya jadi membatasi aktivitas," ujar warga Sumedang ini.

Di suatu titik, Richa bahkan mengaku tidak mau keluar rumah karena kecemasan yang berlebihan.

"Saya jadi superprotektif pada anak-anak saya. Kalau ada yang sakit, saya langsung panik. Kemudian saya jadi mudah tersinggung, begitupun dengan suami. Ketika suami sedikit cuek, acuh, mungkin karena capai pulang kerja, pikiran saya negatif."

"Saya merasa saya tidak cukup baik menjadi istri."

Baca juga: Suami Kerja di Bali, Ibu Bunuh Bayi yang Baru Dilahirkan, Mayatnya Disimpan di Lemari

Richa tidak berani mengatakan gangguan mental yang dirasakan kepada suami dan keluarganya. Ia menutup erat semua yang dirasakan karena takut menerima stigma yang tidak baik.

Di luar, dia berusaha tampil "normal", tapi di dalam, Richa tahu ada yang "tidak normal."

"Kalau dari luar, saya kayak biasa ibu normal lainnya. Diajak ngobrol, tersenyum, bahkan tertawa. Tapi di dalam, saya sebetulnya sedih, di dalam saya teriak-teriak minta tolong," ungkap dia.

Setelah anak keduanya berumur 1,5 tahun, Richa akhirnya berobat ke psikiater. Suami dan ibunya mendukung penuh pemulihan Richa.

Baca juga: Ibu Muda Bunuh Bayi yang Baru Dilahirkannya, Jenazah Sempat Disimpan di Lemari

Ilustrasi bayi.SHUTTERSTOCK/DEDI GRIGOROIU Ilustrasi bayi.
"[Ibu bilang], kamu bukan sakit jiwa atau 'gila' pergi ke psikiater, kamu punya guncangan emosional atau psikis tapi bisa disembuhkan, harus diobati, pokoknya harus ditangani sesegera mungkin. Karena ibu saya selalu menyemangati, maka saya mau konseling," ujar Richa.

Setelah menjalani terapi selama satu tahun, Richa merasa kondisinya lebih baik.

Meski demikian, perempuan 32 tahun ini tetap membatasi pergaulannya demi menjaga kestabilan mental. Richa menilai, komentar-komentar orang sekitar terkadang menimbulkan tekanan mental tersendiri.

Dari pengalamannya, Richa mengungkapkan, ibu dengan kondisi depresi pascapersalinan sangat membutuhkan dukungan dari suami, keluarga, dan orang sekitarnya. Keluarga terdekat juga harus menyadari bila si ibu menunjukkan tanda-tanda depresi.

Baca juga: Mengenal Baby Blues, Sindrom yang Diduga Picu Ibu Bunuh Bayi Sendiri

Dukungan bisa diberikan pula dengan menghilangkan stigma.

"Kadang orang yang dalam keadaan depresi, itu stigma orang kurang bersyukur, kurang mendekatkan diri pada Tuhan. Saya pikir itu sudah beda jalur. Mendekatkan diri pada Tuhan itu sangat pribadi."

"Tidak depresi pun kita wajib mendekatkan diri sama Tuhan. Jangan memberikan stigma, jangan menghakimi kalau tidak tahu penyebabnya apa, tapi rangkul," kata Richa.

Kepada ibu-ibu yang mengalami kondisi serupa, Richa berpesan agar berani bicara dan tidak malu mengakui gangguan jiwa yang dialami supaya bisa diobati lebih cepat.

"Karena ini bukan aib. Postpartum depression itu bisa diobati, bukan aib, bukan hal yang memalukan. Justru semakin cepat ditolong, ditangani, akan lebih cepat sembuh," pesan Richa.

Baca juga: Cerita Lengkap Ayah Ancam Bunuh Anak di Medan, Bermula dari Tidak Ada Air...

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa pada lamanintothelightid.orgdan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.

Wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Lebat

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Lebat

Bandung
Keracunan Massal di Cianjur, Polisi Periksa 2 Orang

Keracunan Massal di Cianjur, Polisi Periksa 2 Orang

Bandung
Mencicipi Duku Cililitan, Si Manis dari Ciamis

Mencicipi Duku Cililitan, Si Manis dari Ciamis

Bandung
Cerita Petugas Kebersihan di Bandung Tinggal di Gubuk, Kaget Rumahnya Direnovasi

Cerita Petugas Kebersihan di Bandung Tinggal di Gubuk, Kaget Rumahnya Direnovasi

Bandung
Makanan Hajatan Diperiksa Usai Tewaskan 1 Orang dan Puluhan Keracunan di Cianjur

Makanan Hajatan Diperiksa Usai Tewaskan 1 Orang dan Puluhan Keracunan di Cianjur

Bandung
Uu Ruzhanul dan Dicky Candra Daftar Penjaringan Calon Wali Kota Tasikmalaya

Uu Ruzhanul dan Dicky Candra Daftar Penjaringan Calon Wali Kota Tasikmalaya

Bandung
Libur Lebaran Usai, 5 Titik PKL di Bandung Kembali Ditata

Libur Lebaran Usai, 5 Titik PKL di Bandung Kembali Ditata

Bandung
Kisah Penyintas Gempa Cianjur, Sudah 1,5 Tahun Tinggal di Rumah Terpal

Kisah Penyintas Gempa Cianjur, Sudah 1,5 Tahun Tinggal di Rumah Terpal

Bandung
Viral Video Tawuran Pelajar SMP di Cirebon, Seorang Siswa Terkapar

Viral Video Tawuran Pelajar SMP di Cirebon, Seorang Siswa Terkapar

Bandung
Prakiraan Cuaca Bogor Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Bogor Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Ringan

Bandung
2 Bulan Ratusan Korban Pergerakan Tanah di Bandung Barat Terkatung-katung Menanti Relokasi Rumah

2 Bulan Ratusan Korban Pergerakan Tanah di Bandung Barat Terkatung-katung Menanti Relokasi Rumah

Bandung
Keluarga Tahanan Tewas Minum Detergen di Cianjur Ikhlas dan Cabut Permintaan Otopsi

Keluarga Tahanan Tewas Minum Detergen di Cianjur Ikhlas dan Cabut Permintaan Otopsi

Bandung
Korban Pengeroyokan di Ciparay Bandung Kritis, Polisi: Motifnya Cemburu

Korban Pengeroyokan di Ciparay Bandung Kritis, Polisi: Motifnya Cemburu

Bandung
Ikuti Google Maps, Pengendara Mobil Terjebak di Jalan Berlumpur Bogor Semalaman

Ikuti Google Maps, Pengendara Mobil Terjebak di Jalan Berlumpur Bogor Semalaman

Bandung
Kasus Keracunan Massal di Cianjur, 1 Warga Tewas, Dinkes Uji Sampel Makanan

Kasus Keracunan Massal di Cianjur, 1 Warga Tewas, Dinkes Uji Sampel Makanan

Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com