KOMPAS.com - Di Bandung, sejumlah ibu dengan perinatal mental health disorder berjuang menyembuhkan diri di tengah stigma dan kesadaran masyarakat yang minim.
Seperti yang dialami Mia Dwi Suwsilowati. Dalam waktu berselang tiga bulan, ia kehilangan dua laki-laki sandaran hidupnya, ayah dan suami, di saat dirinya sedang berbadan dua.
Ayahnya, Joyo, tutup usia karena sakit saat usia kandungannya menginjak empat bulan. Tiga bulan kemudian, suaminya, Haryanto, meninggal setelah mengalami kecelakaan sesaat setelah mengantar Mia ke tempat kerja.
Baca juga: Wanita Ini Kaget Dalam Kardus Mi Instan Ada Mayat Bayi
Musibah yang datang beruntun dan mendadak, ditambah dengan syok, trauma, serta perasaan bersalah, mendorong Mia jatuh ke lembah depresi.
Ia mencoba bunuh diri karena didera perasaan bersalah.
"Saya sempat mengunci diri di kamar mandi, mencoba bunuh diri. Bahkan saya pernah datang datang ke tempat kejadian [kecelakaan]. Terus saya diam saja di jalan itu, maunya menyeberang jalan saat [ada] bus lewat," ungkap Mia dengan suara bergetar.
Hal berbeda dirasakan oleh Richa Hadam. Saat hamil anak kedua, ia cemas dan takut berlebihan.
Baca juga: Enam Hari Dirawat, Ibu dan Bayi Baru Lahir di Tegal yang Positif Covid-19 Kondisinya Membaik
Anxiety disorder atau gangguan kecemasan yang dirasakan Richa semakin menjadi pascamelahirkan.
"Saya takut kalau saya meninggal, anak saya siapa yang mengurus. Ketika mereka membutuhkan saya, siapa yang ada buat mereka. Padahal saya sehat wal'afiat, tidak sakit, tapi muncul perasaaan ketakutan akan meninggal.
"Satu lagi, saya takut menyakiti anak saya. Ketika saya jalan lewat tangga rumah, saya takut anak saya jatuh. Pikiran-pikiran negatif ini muncul di luar kemauan saya, tapi membuat saya sangat tersiksa.
"Kalau saya ke dapur, saya takut pegang pisau dan terkena anak saya. Jadi, saya lebih baik tidak ke dapur. Saya jadi membatasi aktivitas," ujar warga Sumedang ini.
Baca juga: Derita Orangtua Bayi yang Alami Kelainan Langka Organ Perut Keluar: Kami Tak Ada Uang Lagi
Meski WHO mendefinisikan perinatal sebagai periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan, perinatal mental health disorder bahkan bisa dialami perempuan sebelum kehamilan.
Perinatal mental health disorder mencakup antara lain baby blues, gangguan kecemasan, depresi pascapersalinan, dan psikotik pascapersalinan.
Baca juga: Ibu Tenggelamkan Bayinya Usia 4 Bulan Memiliki Riwayat Baby Blues
"Baby blues, ketika tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi postpartum depression. Biasanya, fasenya adalah dua minggu setelah melahirkan. Depresi pascapersalinan ini tingkatannya lebih tinggi, keluhannya lebih berat, gangguan fungsinya juga lebih berat," papar Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan.
Gangguan kesehatan mental perinatal akan lebih buruk, jika pada saat depresi juga muncul gejala psikotik. Salah satunya, ibu mendengar suara-suara atau pikiran negatif saat depresinya memburuk.
"Suara-suara di telinganya mengatakan hal yang dia takutkan, sehingga membuat dia semakin irasional dan bisa melakukan segala sesuatu yang tidak mungkin. Hal terburuk dari depresi adalah menyakiti diri sendiri, menyakiti anak, atau bahkan bunuh diri," kata psikiater lulusan Universitas Padjadjaran ini.
Baca juga: Alami Baby Blues Setelah Melahirkan, Ini Bedanya dengan Depresi Postpartum dan Gangguan Cemas
Di samping itu, stigma yang muncul dari diri sendiri dan sosial terhadap pengobatan psikiatri kadang kala membuat pasien tidak patuh berobat dan malu meminta pertolongan.
"Proses pengobatan perlu didukung, terutama oleh pasangan. Pasangan dan keluarga perlu bekerja sebagai tim dengan mengenali tanda-tanda perburukan dan tanda-tanda bahaya serta mendengarkan kondisi pasien, menemani, dan mendampingi, juga membantu tugas rumah tangga agar si ibu tidak menjadi stress," ujar Elvine.
Baca juga: Beda, Baby Blues dengan Depresi Pasca-Melahirkan
Kesehatan mental ibu hamil dan baru melahirkan juga telah menjadi perhatian dunia. Sejumlah penelitian dilakukan agar penanganan terhadap gangguan kesehatan mental perinatal bisa dilakukan sedini mungkin.