Mengacu data WHO, sekitar 10% wanita hamil dan 13% wanita yang baru melahirkan mengalami gangguan mental, terutama depresi. Sementara depresi pascapersalinan, prevalensi secara global diperkirakan 100‒150 per 1000 kelahiran.
Di Amerika, menurut data terbaru yang dirilis Mei 2020, angka kasus gangguan depresi perinatal terbilang tinggi. Satu dari setiap 7 hingga 10 perempuan hamil dan satu dari setiap 5 hingga 8 perempuan yang baru melahirkan mengalami gangguan depresi.
Baca juga: Mengenal Baby Blues, Sindrom yang Diduga Picu Ibu Bunuh Bayi Sendiri
Penelitian yang dirilis Maternal Mental Health Alliance pada 2014 mengungkapkan, diperkirakan antara 10% dan 20% wanita di seluruh negeri menderita penyakit mental perinatal.
Dari wanita yang mengalami penyakit mental perinatal, 31% memiliki masalah kesehatan mental sebelumnya.
Mengenai psikotik pascapersalinan, NHS Inggris menyebutkan gangguan kesehatan mental tersebut terbilang serius yang dapat menyerang seseorang segera setelah melahirkan. Kondisi itu memengaruhi sekitar 1 dari 500 ibu yang baru melahirkan.
Sayangnya, tidak ada data kasus gangguan kesehatan mental perinatal di Indonesia. Padahal, disinyalir angka kasusnya cukup tinggi.
Baca juga: Kata Polisi soal Dugaan Sindrom Baby Blues dalam Kasus Bayi Tewas di Bak Mandi
Hasil pencarian di situs Kementrian Kesehatan RI dengan kata kunci 'depresi pasca persalinan' hanya menampilkan siaran pers yang memuat data Riskesdas 2007 mengenai angka rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan secara umum.
Tidak ada angka kasus depresi pada ibu hamil dan melahirkan.
depresi, stres, melahirkan, hamil, depresi pascamelahirkan, perinatal depresi, baby blues, postmaternal depression, perempuan hamil, stres kehamilan
Nihilnya data kasus gangguan kesehatan mental perinatal di Indonesia, kata Elvine, menunjukkan program penapisan dan kesadaran untuk mengevaluasi gangguan kejiwaan ini masih perlu ditingkatkan.
Baca juga: Kata Polisi soal Dugaan Sindrom Baby Blues dalam Kasus Bayi Tewas di Bak Mandi
Elvine melanjutkan, data prevalensi sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan dan program yang tepat dalam rangka promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bisa melindungi wanita, anak, dan keluarganya dari risiko terkena maupun protokol tata laksananya secara holistik.
"Data ini juga akan sangat membantu dalam mengedukasi pasangan dan keluarganya bahwa ada risiko besar yang akan dihadapi di sekitar masa kehamilan dan persalinan. Sehingga penatalaksanaannya menjadi holistik dan memerhatikan kesejahteraan wanita itu sendiri.
"Kita sudah mengetahui bahwa dampak dari gangguan mental emosional pada masa perinatal memiliki dampak yang besar dan konsekuensi yang panjang," katanya.
Baca juga: Bukan Sekadar Mitos, Baby Blues Bisa Jadi Ancaman Nyata
Dokter spesialis kandungan atau bidan bisa berperan melakukan penapisan sejak awal pada ibu hamil sebagai salah satu upaya pencegahan.
"Untuk pencegahannya sendiri, semenjak kontrol di bulan-bulan menjelang lahiran, nanti akan kita tanyakan apakah sudah siap untuk punya bayi atau misalkan sudah siap yang mengurusnya, seperti siapkan nanny, atau babysitter atau mungkin ada keluarga yang akan mendukung mengurus anak tersebut," kata Edwin Kurniawan, dokter spesialis obstetric dan ginekologi.
Baca juga: Rekonstruksi Ibu Kandung Bunuh Bayi 9 Bulan, Hidung Korban Ditekan hingga Memar agar Telan Racun
Suami, lanjut Edwin, juga harus dipersiapkan dan diedukasi supaya mendukung istri saat harus mengurus bayi sehingga meminimalkan terjadinya baby blues.
Secara fisik, kata Edwin, gejala gangguan kesehatan mental perinatal memang tidak bisa dilihat. Tapi dokter atau bidan bisa dengan jeli melihat ciri-ciri pasien, misalnya jika si pasien memiliki riwayat konsumsi obat penenang.
Selain itu, dokter atau bidan juga bisa memperhatikan gesture atau tanda-tanda apakah pasien dan pasangannya siap memiliki bayi atau tidak, dan apakah sudah menyiapkan sistem pendukung yang baik atau belum.
Baca juga: Ibu Kandung Diduga Bunuh Bayi 9 Bulan, Selingkuhan Jadi Otak Pembunuhan
"Mungkin yang mencolok pasien itu tidak menunjukkan rasa senang akan kehamilannya, itu sudah menjadi peringatan apakah ini harus dikonsultasikan ke psikiater lebih dini sehingga nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
"Umumnya kehamilan itu sesuatu yang menggembirakan bagi kebanyakan pasangan. Ketika menemukan ada ibu yang tidak senang dengan kehamilannya itu akan terlihat sangat mencolok," ujar Edwin.
Ibu hamil juga disarankan sadar diri akan kondisi kesehatan mentalnya. Dalam hal ini, Elvine menuturkan, ibu hamil bisa memulai dengan menganalisa pikirannya, apakah terlalu banyak pikiran negatif yang muncul ketika dia membesarkan anak.
Baca juga: Usai Melahirkan, Gadis Ini Bunuh Bayi Hasil Hubungan Gelap dan Buang Jasadnya di Belakang Rumah