KOMPAS.com - Kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh HW, seorang guru pesantren yang berada di Bandung, Jawa Barat, menggemparkan masyarakat pekan ini.
HW tega memerkosa dan menghancurkan masa depan belasan santriwati di bawah umur tersebut.
Baca juga: Kemenag Cabut Izin Operasional Pesantren yang Dipimpin Guru Pemerkosa 12 Santriwati
Kasus itu kini telah disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung awal November 2021.
Berikut ini delapan fakta yang dirangkum Kompas.com dari kejadian tersebut:
Kasus pemerkosaan tersebut terungkap setelah salah satu korban pulang ke rumah saat akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Baca juga: Hukuman 20 Tahun Penjara Menanti Guru Pesantren Pemerkosa 12 Santriwati
Orangtua korban rupanya melihat ada sesuatu yang berubah pada anaknya hingga diketahui anaknya hamil.
Dari sana, korban dan keluarga ditemani oleh kepala desa setempat melapor ke Polda Jabar.
Polisi melakukan penelusuran hingga mengungkap bahwa ada 12 santriwati yang diperkosa oleh HW, seorang guru pesantren di Bandung.
Dari kejadian itu, sejumlah korban ternyata hamil dan telah melahirkan. Namun, ada perbedaan pernyataan antara Kejati Jawa Barat dan P2TP2A.
Baca juga: Ada 9 Bayi yang Dilahirkan Santriwati Korban Pemerkosaan Guru Pesantren di Bandung
Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan, bayi yang sudah dilahirkan berjumlah sembilan orang dari empat santriwati.
Namun, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut menyebutkan, dari 12 korban perkosaan, telah lahir delapan bayi dari tujuh korban.
Salah satu korban bahkan punya dua anak dari perbuatan asusila HW.
Berdasarkan fakta di persidangan, terungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh para korban pemerkosaan guru pesantren di Bandung diakui sebagai anak yatim piatu.
Anak-anak itu dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepda sejumlah pihak.
"Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku. Salah satu saksi memberikan keterangan bahwa ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunaannya tidak jelas, serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru," ucap Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Livia Istania DF Iskandar, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/12/2021).
4. Keanehan pondok pesantren
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA) Garut membeberkan sejumlah keanehan terkait pesantren di Cibiru, Bandung, yang dikelola oleh HW.
Menurut penelusuran P2TP2A Garut, para santri yang menjadi korban perkosaan HW ternyata diiming-imingi biaya pesantren hingga sekolah gratis. Kebanyakan korban berasal dari Garut, Jawa Barat.
Rata-rata para korban masuk ke pesantren tersebut mulai dari tahun 2016, atau sejak masih duduk di bangku SMP.
Keanehan lainnya adalah, meski disebut sebagai pesantren, tapi pengajar yang mengajar di pesantren tersebut hanya pelaku HW saja.
Jika pun ada guru lain yang datang, tidak tentu waktunya dan hanya bersifat guru panggilan, tidak seperti halnya sekolah atau pesantren pada umumnya.
"Sisanya (waktu) mereka masak sendiri, gantian memasak, tidak ada orang lain lagi yang masuk pesantren itu," kata Ketua P2TP2A Garut, Diah Kurniasari Gunawan kepada wartawan, Kamis (9/12/2021) malam.
Diah juga bingung pada pesantren tersebut, karena ada korban yang disebut telah lulus SMP dari pesantren, tapi ijazahnya tidak ada.
Hal ini membuat P2TP2A sempat kesulitan memfasilitasi para korban melanjutkan ke jenjang SMA.
"Ijazahnya ini benar apa enggak, ternyata ada yang sekolah di sana dari SD, ijazah SD enggak ada, ijazah SMP enggak ada, jadi itu harus ikut persamaan," katanya.
Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menceritakan sosok HW (36), terdakwa pemerkosa belasan santriwati di Bandung.
Baca juga: Wagub Jabar Ungkap Sosok Guru yang Memerkosa Santriwati di Bandung
Menurut Uu, HW punya citra buruk di kalangan pengajar pesantren.
Hal itu dia dapat dari hasil penelusuran kepada sejumlah pihak.
"Ternyata memang saya bertanya kepada orang-orang yang kenal. Dia (HW) memang pernah pesantren, tapi enggak benar, terus dia berperilakunya tidak sama dengan komunitas pesantren yang lainnya," kata Uu dalam keterangan pers, Kamis (8/12/2021).
Sementara itu, Ketua Forum Pondok Pesantren Kota Bandung Aceng Dudung mengatakan, pelaku HW kerap mengaku sebagai pimpinan atau pengurus dari Forum Pondok Pesantren Bandung dan Jawa Barat.
Berdasarkan keterangan yang ia terima, menurut Aceng, yayasan yang dikelola pelaku memiliki sekitar 30 santri.
"Menurut pengetahuan saya, dia itu sebagai pokja, tapi suka mengaku pimpinan (pondok pesantren). Yang jelas, oknum tersebut sebagai penunggu sekaligus pengelola rumah tahfidz di daerah Antapani. Mengurus santri lebih kurang 30," kata Aceng saat dihubungi, Kamis.
HW sering mengaku sebagai pimpinan forum untuk memudahkan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil angkat bicara terkait kasus tenaga pengajar pesantren di Bandung memerkosa 12 santriwati.
Emil, sapaan Ridwan Kamil, mengutuk keras tindakan tersebut.
"Semoga pengadilan bisa menghukum seberat-beratnya dengan pasal sebanyak-banyaknya kepada pelaku yang biadab dan tidak bermoral ini," kata Emil di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Rabu (8/12/2021) malam.
Setelah kasus itu mencuat ke publik, Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya mencabut izin operasional Pesantren Manarul Huda Antapani yang dikelola HW.
Baca juga: Kemenag Cabut Izin Operasional Pesantren yang Dipimpin Guru Pemerkosa 12 Santriwati
"Kami telah mengambil langkah administratif, mencabut izin operasional pesantren tersebut," kata Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Ali Ramdhani melalui keterangan tertulis, Jumat (10/12/2021).
Selain Pesantren Manarul Huda Antapani, Pesantren Tahfidz Quran Almadani yang juga diasuh HW telah ditutup oleh Kemenag.
Dhani mengatakan, pemerkosaan adalah tindakan kriminal dan pihaknya akan mendukung langkah hukum yang telah diambil kepolisian.
8. Terancam 20 tahun penjara
Jaksa penuntut umum mendakwa HW Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP untuk dakwaan primernya.
Sedang dakwaan subsider, melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Terdakwa diancam pidana sesuai Pasal 81 Undang-undang Perlindungan Anak, ancamannya pidana 15 tahun. Namun, perlu digarisbawahi, ada pemberatan karena dia sebagai tenaga pendidik sehingga hukumannya menjadi 20 tahun," ucap Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jawa Barat Riyono, di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Jalan Naripan, Kota Bandung, Kamis (9/12/2021). (Penulis : Sania Mashabi, Kontributor Bandung Dendi Ramdhani, Kontributor Garut Ari Maulana Karang|Editor : Bayu Galih, Abba Gabrillin, Khairina, Aprillia Ika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.