Diah juga mengaku bingung pada pesantren tersebut karena ada korban yang disebut telah lulus SMP di pesantren itu, tapi ijazahnya tidak ada.
Makanya, P2TPA sempat kesulitan memfasilitasi para korban melanjutkan ke jenjang SMA.
"Ijazahnya ini benar apa enggak, ternyata ada yang sekolah di sana dari SD, ijazah SD enggak ada, ijazah SMP enggak ada, jadi itu harus ikut persamaan," katanya.
Keanehan selanjutnya yang ditemukan adalah orangtua santriwati diminta untuk membantu pembangunan pesantren, menyumbang kayu, hingga tenaga dengan menjadi pekerja.
Padahal pelaku menyebar proposal untuk mendapat bantuan hingga bisa membangun pondok pesantren tersebut.
"Tapi mereka tidak tahu anaknya diperlakukan seperti itu oleh para pelaku," kata Diah.
(Penulis Kontributor Garut, Ari Maulana Karang | Editor Aprillia Ika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.