Memasuki tahun 1680, pecah perselisihan antaran Sultan Ageng dan Sultan Haji. Perang saudara pun tidak terelakkan.
Sultan Ageng yang merasa putranya sudah menyeleweng menyerang dan mengambil alih istana kesultanan.
Sultan Haji yang mengalami kekalahan tidak tinggal dia. Dia berusaha untuk mendapatkan bantuan baik dari VOC hingga Kerajaan Inggris.
Selang dua tahun, Sultan Haji yang mendapat dukungan penuh VOC melancarkan serangan balik.
Istana Kesultanan berhasil direbut, sehingga Sultan Ageng dan putra-putra lainnya yang setia harus mengungsi ke pedalaman.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap oleh VOC dan dibuang ke Batavia.
Sementara Sultan Haji naik tahta sebagai penguasa Kesultanan Banten. Namun dia naik tahta dengan didahului Perjanjian Banten yang sangat menguntungkan VOC.
Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan
Sejak saat itu, Kesultanan Banten sepenuhnya berada dalam kontrol VOC maupun Belanda.
Sebab runtuhnya Kesultanan Banten dimulai pada awal abad ke-19, saat Nusantara diduduki oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daedels.
Daendels saat itu menginisiasi pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang Pulau Jawa.
Saat itu, Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindah pusat kerajaan ke daerah Anyer dan menyiapkan tenaga kerja untuk pembangunan jalan.
Namun permintaan itu ditolak Sultan. Akibatnya Daendels menurunkan pasukan untuk membombardir Istana Surosowan sebagai pusat Kesultanan Banten.
Sultan Banten saat itu ditangkap dan diasiingkan ke Batavia.
Pada 1808, Daendels mengumumkan bahwa Kesultanan Banten menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun 1813, kolonial Inggris berkuasa saat itu resmi mneghapus Kesultanan Banten. Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin diturunkan paksa dari tahtanya.
Beberapa peninggalan Kesultanan Banten antara lain Masjid Agung Banten, Masjid Kasunyatan, Benteng Keraton Surosowan, Masjid Pacinan, dan Benteng Speelwijk.
Sumber:
Kompas.com
Utn.ac.id
Journal.uinjkt.ac.id