Sementara itu, menurut Feryanto, dilihat dari sisi suplai, produksi kedelai lokal Indonesia ada di kisaran 0,8-0,9 juta ton, atau 20-30 persen kebutuhan nasional.
Produktivitas yang rendah (hanya rata 1-1,2 ton/hektar) menyebabkan jumlah produksi kedelai sulit ditingkatkan.
Di samping keterbatasan lahan, kedelai merupakan tanaman sub tropis, sehingga kondisi ini menjadikan Indonesia mengalami ketergantungan dengan kedelai impor.
“Kenaikan inflasi di Amerika juga mendorong harga-harga naik, termasuk upah tenaga kerja di sektor pertanian. Sehingga Amerika sebagai produsen utama kedelai juga harus menaikkan harga jual kedelainya,” kata Feryanto.
Baca juga: Harga Kedelai Tembus Rp 11.500, Pengusaha Tahu di Karawang Meradang
Pada kondisi lain, pulihnya ekonomi China mendorong aktivitas industri dan ekonomi, termasuk industri makanan dan juga untuk ternak tumbuh.
Permintaan kedelai sebagai bahan makanan dan pakan sangat besar, sehingga sejak 2021-2022, China melakukan rush buying atau pembelian besar-besaran.
“Dari data, kebutuhan kedelai China per tahun adalah sekitar 75 juta ton. Angka ini jauh lebih besar dari kebutuhan impor kedelai Indonesia sebesar 2 juta ton,” kata dia.
Menurut dia, kedelai lokal saat ini bisa menjadi solusi sementara.
Namun, ketersediaan kedelai lokal yang tidak konsisten dari petani, kelompok tani, dan distributor, juga menjadi kendala.
Bagi perajin tahu dan tempe, kepastian dan ketersediaan kedelai dalam jumlah tertentu sangat diperlukan.
“Ditambah lagi kesulitan logistik atau transportasi (kapal) juga menjadi masalah. Kombinasi ini yang menyebabkan mengapa harga kedelai naik dan menjadi beban bagi perajin tahu, tempe,” kata Feryanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.