Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Katak Tanduk Jawa Teridentifikasi di Pegunungan Sanggabuana

Kompas.com - 18/04/2022, 22:43 WIB
Farida Farhan,
I Kadek Wira Aditya

Tim Redaksi

KARAWANG, KOMPAS.com - Tim Eksplorasi dari Divisi Pelestarian dan Perlindungan Satwa (DPPS) Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) mengidentifikasi adanya dua Katak Tanduk Jawa (Javan Horned Frog) di hutan Pegunungan Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat selama bulan April 2022.

"Hasilnya ditemukan 12 jenis amfibi, salah satunya adalah Katak Tanduk Jawa atau Javan Horned Frog," kata Ketua Tim Eksplorasi DPPS SCF, Deby Sugiri dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (18/4/2022) malam.

Baca juga: Jelang Lebaran, Macan Tutul Sanggabuana Turun Gunung Mangsa Ternak Warga

Deby mengatakan, katak bertanduk ini ditemukan di dekat sebuah aliran sungai di sekitar air terjun pada ketinggain kurang lebih 750 meter di atas permukaan laut.

Adapun lokasinya di hutan Pegunungan Sanggabuana yang masuk wilayah pengelolaan Badan Kesatuan Pemangku Hytan (BKPH) Pangkalan.

"Karena memang tujuan awalnya adalah herping (mencari amfibi atau reptil) dan pengamatan satwa nocturnal, jadi pendataan di lakukan malam hari. Kebetulan katak bertanduk ini aktif di malam hari, jadi teridentifikasi oleh tim di malam hari," ujar Deby.

Baca juga: Tim Eksplorasi SCF Identifikasi 140 Jenis Burung dan 5 Primata di Pegunungan Sanggabuana

Deby mengatakan, jumlah katak yang kadang disebut Asian Spadefoot Toad ini berhasil diidentifikasi sebanyak dua ekor dengan jenis kelamin jantan.

 

 

Ukurannya sebesar ibu jari kaki orang dewasa.

Adapun ukuran katak bertanduk jantan lebih kecil. Sedangkan untuk ukuran yang betina bisa empat kali lebih besar dari ukuran katak bertanduk jantan.

"Katak endemik jawa ini mempunyai ukuran sampai sekitar 10 sentimeter untuk katak betina, sedangkan yang jantan berukuran lebih kecil," terang Deby.

Katak ini mempunyai tanduk di kepala, tepatnya di atas kedua matanya.

Kedua tanduk katak dari suku Megophrydae ini sebenarnya adalah perpanjangan dermal pada bagian mata yang menyerupai tanduk.

Tanduk palsu atau tonjolan yang merupakan perpanjangan dermal ini tidak hanya ada di atas kedua matanya, tetapi juga tampak di bagian hidung yang meruncing.

 

Dapat berkamuflase

Deby mengatakan, katak ini biasa bersembunyi di balik serasah daun di dasar hutan, hingga kadang disebut katak serasah.

Biasanya katak bertanduk ini tidak banyak bergerak dan aktif pada malam hari, sehingga susah untuk ditemukan.

Katak ini biasa ditemukan di dataran menengah sampai dataran tinggi diketinggian 2.000 mdpl.

Katak ini mempunyai warna tubuh cokelat keabu-abuan sampai cokelat kemerah-merahan.

Terdapat bintik kehitaman di bawah mata dan sepasang bentol di belakang di antara kedua kakinya.

"Warna yang mirip serasah daun ini membantu katak bertanduk berkamuflase dengan kondisi hutan," ucapnya.

Tidak masuk daftar satwa dilindungi

Sementara itu, Dewan Pembina SCF Bernard T. Wahyu Wiryanta mengatakan, adanya temuan Katak Tanduk Jawa semakin memperkaya database keanekaragaman hayati Pegunungan Sanggabuana.

Meski tidak masuk dalam daftar satwa yang dilindungi pemerintah, temuan itu tetap dilaporkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Eksplorasi oleh Tim SCF ini merupakan bagian dari penyusunan pra kajian terkait usulan perubahan status kawasan Pegunungan Sanggabuana menjadi Taman Nasional," ucap dia.

Jadi indikator ekosistem

Bernard mengatakan, populasi Katak Tanduk Jawa memang sudah jarang ditemui.

Menurutnya, dengan ditemukannya Katak Tanduk Jawa di Sanggabuana, maka menjadi indikator positif.

Sebab, keberadaan katak ini sering dijadikan indikator lingkungan. Apabila masih ada katak bertanduk, berarti ekosistemnya masih bagus.

"Paling tidak ini menjadi indikator juga untuk upaya pelestarian dan perlindungan yang dikerjakan SCF berada dijalur yang benar. Keberadaan herpetofauna (binatang melata jenis amfibi dan reptil) sangat penting dalam rantai makanan dan menjadi bioindikator lingkungan," tambah Bernard.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com