"Langsung dibuatkan dua atau tiga ganjelan sama temen-temen. Kenapa banyak, biar bisa dapet uangnya nggak dari satu mobil saja," terangnya.
Ade menuturkan, ia harus sudah siap di pinggiran jalan Nagreg sejak subuh pada H-10.
Demi meraup untung lebih, saat itu Ade mengaku harus siaga sampai tengah malam.
Meski hanya berprofesi sebagai tukang ganjel dan meraih uang tak seberapa, persaingan tetap terjadi.
Tak jarang, seingatnya, kerap terjadi perkelahian sesama tukang ganjel demi merebutkan satu mobil yang kesulitan melewati tanjakan.
"Wah, waktu itu mah sampai pukul-pukulan, masalahnya suka rebutan," tambahnya.
Hal itu ditengarai membuat ia memilih untuk begadang setiap harinya.
"Dari pada ribut, saya milih jalan jauh atau begadang, dari sahur ke sahur lagi," ungkapnya.
Ade masih ingat, pendapatannya sehari saat menjadi tukang ganjel bisa mencapai Rp 100 sampai Rp 200 ribu. Belum lagi, kata dia, para pengendara yang kerap memberinya makan atau rokok.
"Kadang ada yang ngasih rokok atau cemilan, tergantung orangnya," beber dia.
Uang hasil ganjel, lanjutnya tak pernah lama bertahan di sakunya. Ade mengaku kerap langsung memberikan pada orang tua di rumah untuk menutupi sehari-hari.
Sudah jatuh tertimpa tangga, perjuangannya menjadi tukang ganjel demi meningkatkan ekonomi keluarga, nyatanya tak berjalan mulus.
Saat itu, kata Ade, muncul isu di masyarakat terutama pemudik, bahwa tukang ganjel Nagreg kerap mematok harga yang fantastis.
Sempat tersiar kabar, satu mobil dipatok harga Rp 200 ribu. Hal itu, membuat Ade dan yang lainnya geram.
"Betul, sempat ada berita kaya gitu, kita semua sempat cari orang atau kelompok ganjel mana yang matok harga segitu, tapi gak ada, gak tau gak ngaku," tuturnya.