Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Lindung dan Produksi Tak Lagi Diurus Perhutani, Aktivis Lingkungan Minta Pemkab Garut Bergerak

Kompas.com - 19/05/2022, 21:50 WIB
Ari Maulana Karang,
Reni Susanti

Tim Redaksi

GARUT, KOMPAS.com – lima organisasi lingkungan hidup di Garut meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut segera merespons kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Seperti diketahui, belum lama ini KLHK mengeluarkan kebijakan terkait pengalihan pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi yang saat ini dikelola Perum Perhutani.

Kelima organisasi itu yakni Yayasan Tangtudibuana, Institute For Ecological Study (InfESt), Komunitas Konservasi Kadaka, Serikat Hijau Indonesia (SHI-Garut), dan Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Pendukung SK 287. 

Juru Bicara Koalisi Pendukung SK 287, Ebit Mulyana menyampaikan, SK Nomor 287 Tahun 2022 yang dikeluarkan Kemen KLHK, telah menarik 1 juta hektar lebih hutan lindung dan hutan produksi yang ada di Pulau Jawa dari Perhutani menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Baca juga: Hari Ini, 5.000 Pegawai Perhutani Se-Jawa Demo di Kantor Kementerian LHK Jakarta

 

Termasuk, ribuan hektar lahan hutan lindung dan hutan produksi di Garut yang saat ini dikelola Perhutani.

Kebijakan ini, menurut Ebit, merupakan langkah strategis KLHK untuk memperbaiki tata kelola kawasan hutan di Pulau Jawa.

Tujuannya demi perbaikan kondisi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan memberi akses luas pengelolaan hutan yang selama ini didominasi Perum Perhutani.

Karenanya, Ebit meminta Pemkab Garut bisa secepatnya berkoordinasi dengan Kementerian LHK untuk mempertanyakan komitmen pemerintah pusat terhadap perlindungan kawasan hutan yang strategis dan mengawal kebijakan pemberian akses lahan hutan kepada masyarakat.

“Meski terbitnya kebijakan ini tak ada peran Pemda, tapi dampaknya akan besar pada tata kelola kawasan hutan di Garut, makanya Pemda harus segera berkoordinasi,” ujar dia, Kamis (19/5/2022).

Baca juga: 35 Kilogram Mi Formalin di Magelang Diamankan, Penjual Jadi Tersangka

Ebit menuturkan, saat ini, Perum Perhutani Garut, menjadi pemangku kawasan 85.000 hektar hutan produksi dan hutan lindung.

Jika nantinya lahan seluas ini akan ditetapkan menjadi KHDPK, tentunya sangat strategis dan bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas dan kemajuan ekonomi daerah.

Selain pengelolaan oleh masyarakat, Ebit mengingatkan soal adanya kawasan-kawasan strategis yang memberi fungsi besar pada keseimbangan alam dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Pemda, menurut Ebit, harus meminta komitmen agar KLHK mau menjaga kawasan tersebut dan memberi perlindungan.

Hasil kajian pihaknya soal aspek kebencanaan, kerusakan kawasan, kebutuhan perlindungan keanekaragaman hayati dan keberlanjutan sumberdaya air, terdapat 85.000 hektar lahan dikelola Perum Perhutani Garut. 

Baca juga: Warga Serang Edarkan Obat Keras Ilegal, Ribuan Pil Diamankan

Dari jumlah itu, ada sekitar 15.000 hektar yang sangat penting untuk dibuat kejelasan skema pengelolaan dan rencana perlindungan.

Yaitu wilayah yang menjadi daerah tangkapan dan serapan air sungai yang mengairi sebagian besar wilayah Garut, baik yang ke utara (sungai Cimanuk) dan ke arah selatan (Cikaengan, Cisangiri, Cipasarangan dan Cikandang).

Rusaknya kawasan tersebut, menurut Ebit, menjadi salah satu penyebab tingginya risiko bencana alam di Garut mulai dari banjir, longsor, kekeringan, dan kekurangan air bersih yang jadi fenomena tahunan yang terjadi di kawasan perkotaan hingga pedesaan.

“Pemerintah daerah tidak bisa abai dan beralasan tidak punya kewenangan mengurus kawasan hutan, Pemda sangat perlu bersinergi dengan pusat, karena ini menyangkut nasib banyak warga Garut ke depan, terutama dalam hal bencana dan ekonomi warga sekitar kawasan hutan,” katanya.

Ebit mengusulkan, Pemkab Garut bisa saja mengajukan opsi, seperti mendorong perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi taman nasional atau Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang bisa dikelola langsung pemerintah daerah.

“Tidak berlebihan kalau Pemda meminta 15.000 hektar dari 85.000 hektar yang ada jadi taman nasional atau Tahura yang dikelola langsung pemerintah daerah, taman nasional dan Tahura masih ada zona pemanfaatan untuk peningkatan ekonomi masyarakat,” katanya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com