Hampir, rata-rata supir angkot menjadikan harga BBM bersubsidi sebagai patokan menetapkan tarif angkot.
“Ya beratnya karena harus mutar otak ditarif, karena kalau dinaikkan pelanggan pasti berkurang. Tapi kalau tetap kita yang susah,” kata Novriandi.
Keduanya berharap, agar pemerintah benar-benar mengkaji sebaik-baiknya sebelum kebijakan tersebut disahkan.
"Kita tahu BBM pertamax udah naik, jadi semoga ini jangan ikut naiklah. Mending dipikir lagi, kalaupun harus naik kasih juga solusinya,” ucap Novriandi.
Sementara itu, pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Setia Mulyawan menilai, pemerintah harus menemukan solusi guna mencegah dampak dari naiknya harga BBM bersubsidi.
Ia menilai, setiap kebijakan naiknya harga BBM, apalagi BBM bersubsidi, harus dibarengi dengan solusi yang mesti dikaji kemudian disosialisasikan.
“Segera carikan solusi apa yang ditawarkan sebagai antisipasi dampak dari kenaikan harga BBM tersebut,” kata Setia melalui sambungan telepon.
Menurutnya, persoalan subsidi BBM bukan hanya tentang kenaikan harga saja. Namun juga ada persoalan penikmat serta penerima subsidi.
Belum lagi, kata dia, beberapa waktu lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa 86 persen penikmat BBM subsidi adalah masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas
Oleh sebab itu, ia menekankan agar pemerintah bisa tegas dan memberikan jaminan serta memastikan penerima BBM subsidi betul-betul tepat sasaran.
"Harus diatur oleh pemerintah, untuk memastikan bahwa yang disubsidi itu adalah kelompok yang betul-betul rentan terhadap perubahan harga,” ujar Setia.
Tak hanya itu, ia meyebut pemerintah juga wajib mengantisipasi efek yang bakal hadir akibat kenaikan tersebut, seperti kenaikan harga yang lain.
Biasanya, lanjut setia, pelaku usaha kerap menaikan harga bahan pokok sebelum harga BBM bersubsidi itu belum naik.
“Yang penting juga adalah ketegasan pemerintah untuk menjaga bantalan sosial dalam mengantisipasi dampak dari kenaikan ekonomi itu. Karena efeknya kan sudah ada, harganya belum naik, tapi panik buying sudah terjadi, efek terhadap kenaikan komoditi lain juga terjadi,” terangnya.
Pemerintah, sambung Setia, bisa terbebas dari gurita impor harga minyak dunia. Asalkan, pemerintah bisa mengamankan hasil produksi (lifting) minyak dalam negeri sesuai dengan target.