BANDUNG, KOMPAS.com - Genap 120 tahun bangunan 'Vervoloog Malabar' atau Sekolah Rakyat (SR) Malabar berdiri di antara sejuknya udara Pangalengan, dan hamparan kebun teh yang mengitarinya.
Sudah tiudak terhitung juga jumlah pastinya, berapa murid yang berhasil ditelurkan sejak pertama kali dibangun pada 1901.
Vervoloog Malabar dibangun atas kebaikan hati juragan teh Karel Albert Rudolf Bosscha.
Baca juga: Dua Pendaki Hilang di Gunung Malabar, Tim SAR Lakukan Pencarian
Pria berkebangsaan Belanda itu, merasa terketuk hatinya. Ia tak ingin anak-anak karyawannya yang bertugas di perkebunan Teh Malabar tak mampu membaca dan berhitung.
Atas dasar itu, Bosscha membangun Vervoloog Malabar dan mendatangkan guru untuk mengajarkan anak-anak karyawannya baca tulis.
Konon berkat hadirnya, Vervoloog Malabar pula yang memutus mata rantai buta huruf di wilayah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Tak hanya memberikan pelajaran, Vervoloog Malabar juga dibangun dengan mengedepankan nilai-nilai inklusivitas.
Baca juga: Api yang Membakar Kawah Putih dan Gunung Malabar Sudah Padam
Di sekolah tersebut, anak-anak pribumi dan Belanda disatukan dalam satu kelas.
Tak ada sekat pemisah, karena semua manusia setara dan berhak mendapatkan ilmu pengetahuan yang sama.
Di bawah PTPN VIII dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bandung gedung sekolah itu menjadi cagar budaya, sayang kondisinya memprihatinkan.
Bangunan Sekolah Rakyat Malabar dibangun memanjang dengan bentuk seperti rumah panggung.
Baca juga: Kebakaran Hutan Gunung Malabar Meluas, Perhutani Minta Bantuan Water Bombing
Hampir semua elemen bangunan terdiri dari kayu dan bilik (anyaman serat bambu).
Terdapat lima pintu, dengan gaya khas masa kolonial, tinggi menjulang. Pun dengan bagian jendela, sentuhan khas masa "penjajahan" masih terasa.
Semua dinding terbuat dari bilik, termasuk langit-langit di dalam dan di luar. Lantainya pun berbahan kayu.
Ketika akan memasuki ruangan, beberapa anak tangga kecil berbahan kayu terpasang di setiap pintu masuk.
Baca juga: Lima Owa Jawa Dilepasliarkan di Hutan Lindung Gunung Malabar
Sekolah Rakyat Malabar memiliki lima ruangan, terdiri dari empat ruang kelas dan satu ruang guru.
Opir Supriatna (70) mantan penjaga Kebun teh Malabar juga mantan pengurus makam Bosscha yang pernah bersekolah di Vervoloog Malabar mengatakan dulunya bangunan sekolah tersebut membentuk leter U.
"Ya, sempat terjadi kebakaran, jadi bangunannya tinggal itu saja," katanya ditemui, Rabu (21/9/2022).
Opir memaparkan, hampir semua bangunan di Sekolah Rakyat Malabar masih asli. Hingga saat ini, kata dia, tidak pernah ada yang diganti dan diperbaiki.
Baca juga: Hilang di Gunung Malabar, Dua Pendaki Tak Bawa Peralatan Survival, Ini Penjelasan Tim SAR
Hanya dinding bilik dan gentengnya saja yang diperbaharui karena beberapa kali terbang diterjang angin kencang.
"Lantai kayu dan kusen Vervoloog Malabar masih sama seperti yang dulu," ujarnya.
Pun dengan Furnitur di dalam kelas seperti bangku, meja, dan tempat papan tulis pun masih asli seperti satu abad yang lalu.
"Saya masih ingat betul dulu masih pake alat tulis Sabak dan Grip untuk nulis, itu dulu masih ada di sana," tambahnya.
Opir mengungkapkan, tak ada satu pun warga di Pangalengan yang tak bersekolah di sana, apalagi masyarakat yang hidup di rentan tahun 1901.
"Hampir semua warga masyarakat Pangalengan sekolah di sini, termasuk saya," terang dia.
Baca juga: Video Viral 2 Siswi di Medan Berkelahi di Depan Sekolah, Bermula dari Bully
Sekolah Rakyat Malabar, kata dia, berhenti beroperasi setelah dibangunnya SDN Malabar 4 pada tahun 1983.
"Kegiatan di SR Malabar mulai berkurang tahun 1973, dan berhenti pas terbangunnya sekolah ini (SDN Malabar 4) yang sekarang bersebelahan," ungkapnya.
"Pernah ada yang pakai lagi tapi enggak lama cuma dua tahun aja," tambahnya.
Kendati, memiliki banyak makna sejarah, sayang bangunan Sekolah Rakyat Malabar kini tidak terawat, bahkan cenderung mengkhawatirkan.
Genting sebagian sudah hilang, terbawa angin, langit-langitnya pun sudah rubuh. Bilik yang menjadi dinding utama sekolah tersebut sebagian sudah berlubang.
Pintu khas masa kolonial pun sudah tak terawat, cat nya mulai pudar. Serat kayunya pun sudah mulai terpisah dan mengelupas.
Meski bagaian lantai belum ada yang berlubang dan terlihat kokoh, namun hampir semua bagian ditutupi oleh lumut dan beberapa rumput liar.
Dalam ruang tak jauh mengenaskan, bangku bekas belajar berserakan dan hanya tinggal tersisa beberapa saja.
Sebagian bangku yang asli, kata Opir, kebanyak sudah dibawa oleh orang tak bertanggungjawab, lantaran terbuat dari kayu jati.
"Padahal itu merupakan barang sejarah, harus di simpan," keluhnya.
Baca juga: 5 Rumah Panggung di Bima Ludes Terbakar, Korban Butuh Pakaian hingga Seragam Sekolah
Sempat tersiar kabar bahwa keluarga dari Bosscha sempat memberikan bantuan berupa uang Rp 100 juta untuk biaya renovasi dan pemugaran sekolah itu.
"Sempet denger kabar, katanya keluarga Pak Bosscha datang dan ngasih bantuan, tapi gak tau ke siapa, kemana, kalau untuk bangunan ini, sampai sekarang masih kaya gini," bebernya.
Kini bangunan Vervoloog Malabar atau Sekolah Rakyat Malabar hanya tinggal nama, masa kejayaannya telah habis dimakan waktu.
Kendati masih berdiri, Sekolah Panggung (sebutan warga sekitar) itu sudah mati, segala jasa-jasanya sudah terkubur bersama masa keemasan Kebun Teh Malabar dan nama besar Karel Albert Rudolf Bosscha.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.