GARUT, KOMPAS.com–Banjir bandang akibat luapan Sungai Cikaso dan Sungai Cipalebuh merendam ribuan rumah di empat desa dalam Kecamatan Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, pada Kamis (22/09/2022) malam, bukan kali pertama terjadi.
Musibah serupa pernah terjadi pada 2019.
Wakil Bupati Garut Helmi Budiman mengakui, ada siklus banjir yang pendek di wilayah Kecamatan Pameungpeuk.
Baca juga: Kenangan Sepenggal Pameungpeuk
Penyebabnya masih terbilang sama yaitu soal daya dukung kawasan hutan dan tingginya curah hujan.
“Jadi di kawasan selatan Garut itu, dua hari berturut-turut hujan deras, meski di Kota Garut tidak deras,” katanya kepada Kompas.com, Sabtu (24/09/2022) siang saat ditemui usai mengisi sebuah acara di Fave Hotel Garut.
Tingginya curah hujan ini, menurut Helmi, tidak berimbang dengan daya dukung kawasan hutan.
Pasalnya, tegakan pohon sudah berkurang hingga air hujan akhirnya semua tumpah ke sungai hingga menyebabkan banjir bandang.
Helmi mengakui, daya dukung kawasan hutan di hulu sungai memang sudah jauh menurun akibat berkurangnya pohon.
Baca juga: Banjir Bandang di Pameungpeuk, Pemkab Garut Tetapkan Tanggap Darurat 7 Hari
Kondisi ini disebut terjadi di hutan yang dikelola selain oleh masyarakat.
“Kalau hutan yang dikelola masyarakat kondisi tegakannya (pohon) masih bagus,” katanya.
Helmi juga mengaku sulit menata kawasan hutan karena pengelolaannya tidak menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Untuk itu, dia akan mengajak para pihak untuk bisa duduk bersama untuk berupaya rehabilitasi kawasan hutan agar daya dukungnya bisa meningkat.
Sedangkan Perhutani, salah satu pengelola kawasan hutan di Garut, menyatakan telah berupaya mengawasi hutan yang memiliki nilai ekologis tinggi.
“Program penanaman rutin kita lakukan, patroli oleh anggota meski jumlah personel terbatas juga rutin kita lakukan,” kata Kepala Sub Seksi Hukum Kepatuhan dan Komunikasi Perum Perhutani Garut, Ade Sahdan, saat dihubungi.
Baca juga: Banjir Bandang dan Longsor di Garut, Satu Orang Meninggal
Selain hutan produksi, menurut Ade, Perhutani memang juga mengelola kawasan hutan lindung.
Kawasa ini menjadi fokus bagi Perhutani agar fungsinya bisa tetap terjaga.
Menurunnya daya dukung kawasan hutan ini, di mata Aliansi Masyarakat Peduli Penanggulangan Bencana Indonesia (Ampibi) Kabupaten Garut, menjadi bukti adanya kerusakan lingkungan yang massif.
Karenanya, berbagai bencana ekologis terus terjadi di Garut.
“Ada salah tata kelola kawasan, penegakan hukum yang kurang tegas, program pemerintah di bidang lingkungan yang tak jelas arahnya, ini yang jadi penyebab mendasarnya,” jelas Andri Hidayatullah, Ketua Bidang Advokasi Ampibi Garut.
Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa ada upaya perbaikan, menurut Andri, siklus bencana ekologis di Garut akan semakin pendek.
Baca juga: Banjir Bandang Rusak Jalan Menuju Curug Cipendok Banyumas, Sejumlah Rumah Terdampak
Bisa saja banjir bandang terjadi tiap tahun dengan skala yang dikhawatirkan bisa lebih besar.
Melihat kondisi ini, Andri mendorong pemerintah daerah segera menyusun kebijakan-kebijakan strategis di bidang lingkungan di antaranya membuat Peraturan Daerah perlindungan sumber mata air.
Pemerintah diminta menetapkan tata kelola wilayah ramah lingkungan yang berkelanjutan, meningkatkan status perlindungan bagi kawasan-kawasan hutan yang memiliki fungsi ekologis tinggi hingga mengevaluasi pelaksanaan program-program yang bertentangan dengan prinsip tata kelola lingkungan yang baik dan berkelanjutan.
“Kita juga menuntut aparat penegak hukum melakukan upaya penegakan hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan lingkungan agar muncul efek jera di masyarakat,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.