BANDUNG BARAT, KOMPAS.com- Gemuruh mesin perahu terdengar dari kejauhan, suara mesin berbahan bakar solar itu semakin mendekat menuju keramba ikan tempat Mamat (60) menggantungkan ekonomi.
Perahu itu berhenti di Keramba Jaring Apung (KJA) miliknya, ikan nila yang sudah masuk masa panen diborong oleh tengkulak yang memang sudah menanti masa panen ikan milik Mamat.
"Baru saja pagi tadi 4 kwintal ikan nila diborong, jadi sistem pembeliannya memang sudah ada yang datang ke sini setiap masa panen," kata Mamat saat ditemui di saung apung miliknya Jumat (23/9/2022).
Baca juga: Nelayan Hilang di Perairan Cilacap, Diketahui karena Perahu Kosong Menyala di Tengah Laut
Mamat menjual ikan nila hasil panennya dengan harga Rp 18.500 per kilogram.
Harga itu masih sama dengan harga sebelum harga BBM naik, alhasil tidak ada keuntungan lebih yang bisa dinikmatinya.
Penjualan ikan nila hasil dari kerambanya sama sekali tidak menutup ongkos produksi dari mulai pembibitan sampai masa panen, hasil panennya hanya cukup untuk sekadar menutup kebutuhan pokok sehari-hari.
"Mau enggak mau ya dijual dengan harga segitu, ya hanya cukup buat memperpanjang hidup," gumamnya.
Di atas perairan Waduk Saguling, Kabupaten, Bandung, Jawa Barat, Mamat hidup bersama istrinya dengan mendirikan saung berbilik bambu dengan konsep terapung di atas air.
Baca juga: Sulit Dapat Solar, Nelayan Campurejo Gresik Geruduk SPBU dan Berunjuk Rasa
Di belakang saung apung, terdapat 12 kolam yang berisi benih-benih ikan tempat Mamat dan istrinya menggantungkan ekonomi keluarga.
"Tinggal di sini kira-kira sudah 9 tahun dari 2013. Selama di sini ya transportasi menggunakan perahu. Bahan bakarnya solar," ujar Mamat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.