Kendati begitu, Asep bersama pengrajin yang bertahan tidak patah semangat. Ia terus memantapkan hati untuk mampu dan berani bersaing dengan berbagai jenis kukusan elektrik.
Keberaniannya itu pula yang membuat keberadaan Kampung Langseng menjadi wujud masih eksisnya dandang atau langseng di tengah modernitas.
"Apa boleh buat, rezeki udah ada yang ngatur, kita mah menjalani aja, alhamdulilah sampai sekarang masih bertahan," terangnya.
Baca juga: 2 Tahun Tak Berkomunikasi, Adik Temukan Kakaknya Sudah Jadi Kerangka di Cileunyi
Sambil terus memberikan informasi tentang Kampung Langseng. Asep tak berhenti menyiapkan alat-alat dan bahan pembuat langseng.
Pelat aluminium tipis dipotong sesuai pola yang telah disediakan. Ukurannya beragam, dari kecil, sedang hingga besar.
Pelat yang sudah terpotong harus dibuat lingkaran. Mereka biasa menggunakan alat roll panci yang dioperasikan secara manual.
Kemudian plat tersebut perlahan diputar, hingga berbentuk lingkaran sempurna mendekati wujud langseng.
Selain bagian tubuh langseng, disiapkan juga plat lingkaran untuk bagian alasnya.
Tak ketinggalan tutup langseng yang harus dibentuk melengkung dengan roll pelat khusus. Pengerjaan langseng ini sepenuhnya dilakukan secara manual.
Setelah itu dandang silinder disusun rapi dan mengantre giliran untuk mendapatkan polesan.
Baca juga: Melihat Kondisi Bike Sharing di Taman Menteng Saat Ini, Terbengkalai dan Tak Terurus
Dulu, kata Asep, langseng diproduksi dari bahan tembaga. Namun seiring mahalnya tembaga, mereka menggantinya dengan material aluminium galvanis berwarna silver mengkilap.
Bagian yang sudah terpotong rapi kemudian harus dipatri. Setelah setiap bagian menyatu, kemudian bekas patrian akan diamplas sehalus mungkin.
Tiap langseng juga diperiksa agar tidak terjadi kebocoran.
"tembaga itu harganya Rp 150.000, sedangkan aluminium galvanis hanya Rp 60.000 saja per kilonya," tambah Asep.