Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Asep Lawan Modernisasi untuk Pertahankan Identitas Kampung Langseng di Cileunyi

Kompas.com - 25/11/2022, 12:33 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com- Kilauan pelat kaleng, bunyi mesin potong, serta bisingnya suara besi dan plat yang dipukul membuat Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terlihat hidup.

Lokasi yang sering disebut kampung langseng atau lebih dikenal dengan dandang itu, masih terus bergeliat sejak dulu.

Langseng atau dandang merupakan alat yang berfungsi untuk menanak nasi.

 Baca juga: Pemkab Kendal Gelar Lomba Thek-thek untuk Pertahankan Tradisi Desa

Seperti menolak mati, dan terus bertahan melawan modernisasi, Kampung Langseng enggan berhenti berotasi menghidupi para penggiatnya dari hari ke hari.

32 tahun, bukan waktu yang pendek bagi Asep Ramdan (55) bergelut di dunia pembuatan dandang.

Memulai debutnya sejak 1990, sudah tak terhitung lagi berapa jumlah langseng yang pernah ia buat.

Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.KOMPAS.COM/M. Elgana Mubarokah Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.

Di Kampung yang mayoritas warganya berprofesi sebagai pembuat langseng, Asep pelan-pelan menekuni "Pangabisa" (Keahlian) itu sejak lama.

Ia mewarisi keahliannya dari keluarganya yang lebih dulu sudah berkecimpung di dunia pembuatan langseng.

 Baca juga: Bubur Sumsum, Ucapan Terima Kasih dalam Tradisi Jawa

Baginya tak ada pilihan lain, untuk terus meneruskan bisnis keluarga yang sudah berhasil membesarkan ia dan adik-adiknya.

"Saya belajar udah lama dari orang tua, dari paman atau keluarga yang lain, sebelum tahun 90 an memutuskan untuk memulai bisnis," katanya ditemui, Jumat (25/11/2022).

 

Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.KOMPAS.COM/M. Elgana Mubarokah Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.

Sambil membuat langseng, Asep bercerita dan bernostalgia, bagaimana bisnis yang ditekuninya ini pernah menjadi kebutuhan primer sebuah keluarga.

Jauh sebelum adanya penanak nasi elektrik, bisnis pembuatan langseng pernah berjaya. Setidaknya era 1980 hingga 1990-an langseng menguasai pasar peralatan dapur dalam bentuk kukusan.

Kala itu, ia berani menjamin, tak ada satu rumah pun yang tak memliki langseng atau dandang.

"Wah, dulu mah ini jadi barang yang dibutuhkan, apalagi yang rumah tangganya baru, paling tidak langseng buat masak nasi kan harus ada," ujarnya.

 Baca juga: Mengenal Tradisi Resik Dandang, Dilakukan Warga di Batu untuk Peringati Hari Air Sedunia

Mulanya, kata dia, pembuat langsung di Cileunyi hanya ada satu orang. Lantaran bisnis membuat langseng kala itu sangat menjanjikan.

Pelan-pelan warga yang lain di Kampung Seke Jengkol mulai menekuni dan terjun ke bisnis yang sama.

Asep masih ingat betul, saat itu, hanya daerah Rajapolah Tasikmalaya yang menjadi wilayah saingan produsen pembuat langseng.

"Dulu mah di sini cuma satu, mungkin berkembang karena tertarik, akhirnya merebak dan di kenal Kampung Langseng," kata dia.

Bertahan melawan modernisasi

Sebelum teknologi berkembang, dan mulai diminati banyak orang. Alat pembuat dan penanak nasi itu menjadi primadona.

Seiring waktu, alat kukusan elektrik pun mulai datang dari luar negeri dan membanjiri pasar. Para konsumen langseng atau dandang pun mulai beralih.

 Baca juga: Lebih 10 Bunga Bangkai Tumbuh Liar di Cileunyi, Kabupaten Bandung

Hal itu tidak hanya berdampak pada turunnya minat dan daya beli masyarakat, tapi juga para perajin pun ikut menyusut.

Kala itu setidaknya ada 50an orang yang berprofesi sebagai pembuat langseng. Namun seiring menurunnya pesanan membuat pengrajin langseng beralih pekerjaan.

Hingga kini, hanya tersisa 10 orang di Cileunyi yang masih giat mempertahankan eksistensi langseng.

"Bisa di lihat, sekarang mah tinggal berapa pabrik yang masih aktif, setelah itu alat-alat modern datang ya banyak yang beralih dan kerja biasa lagi," tuturnya.

 

Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.KOMPAS.COM/M. Elgana Mubarokah Asep Ramdan (55) seorang pembuat langseng atau dandang yang masih bertahan dengan profesinya di tengah gempuran teknologi dan modernisasi. Tak hanya mempertahankan profesinya, Asep terus berupaya menjaga Kampung Seke Jengkol, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai Sentra Pembuat Langseng atau Dendeng.

Kendati begitu, Asep bersama pengrajin yang bertahan tidak patah semangat. Ia terus memantapkan hati untuk mampu dan berani bersaing dengan berbagai jenis kukusan elektrik.

Keberaniannya itu pula yang membuat keberadaan Kampung Langseng menjadi wujud masih eksisnya dandang atau langseng di tengah modernitas.

"Apa boleh buat, rezeki udah ada yang ngatur, kita mah menjalani aja, alhamdulilah sampai sekarang masih bertahan," terangnya.

 Baca juga: 2 Tahun Tak Berkomunikasi, Adik Temukan Kakaknya Sudah Jadi Kerangka di Cileunyi

Sambil terus memberikan informasi tentang Kampung Langseng. Asep tak berhenti menyiapkan alat-alat dan bahan pembuat langseng.

Pelat aluminium tipis dipotong sesuai pola yang telah disediakan. Ukurannya beragam, dari kecil, sedang hingga besar.

Pelat yang sudah terpotong harus dibuat lingkaran. Mereka biasa menggunakan alat roll panci yang dioperasikan secara manual.

Kemudian plat tersebut perlahan diputar, hingga berbentuk lingkaran sempurna mendekati wujud langseng.

Selain bagian tubuh langseng, disiapkan juga plat lingkaran untuk bagian alasnya.

Tak ketinggalan tutup langseng yang harus dibentuk melengkung dengan roll pelat khusus. Pengerjaan langseng ini sepenuhnya dilakukan secara manual.

Setelah itu dandang silinder disusun rapi dan mengantre giliran untuk mendapatkan polesan.

 Baca juga: Melihat Kondisi Bike Sharing di Taman Menteng Saat Ini, Terbengkalai dan Tak Terurus

Dulu, kata Asep, langseng diproduksi dari bahan tembaga. Namun seiring mahalnya tembaga, mereka menggantinya dengan material aluminium galvanis berwarna silver mengkilap.

Bagian yang sudah terpotong rapi kemudian harus dipatri. Setelah setiap bagian menyatu, kemudian bekas patrian akan diamplas sehalus mungkin.

Tiap langseng juga diperiksa agar tidak terjadi kebocoran.

"tembaga itu harganya Rp 150.000, sedangkan aluminium galvanis hanya Rp 60.000 saja per kilonya," tambah Asep.

Mengubah cara berjualan agar tetap bertahan

Sebagian besar pengguna langseng adalah mereka yang masih menggunakan tungku kayu bakar.

Namun ada juga pengguna kompor gas yang masih menggunakan langseng. Rata-rata, lanjut dia, saat ini langseng lebih sering digunakan untuk memasak berkenaan seremonial tertentu.

"Biasanya buat acara atau hajatan, dan biasanya tuh langseng dengan ukuran yang tinggi dan lebar yang memungkinkan menanak nasi banyak dalam satu kali proses masak, itu yang lebih laku, kalau buat acara," tuturnya.

Baca juga: Batang Kuantan, Sungai di Sumatera yang Terkenal dengan Tradisi Pacu Jalur

Biasanya, Asep menjual langseng dengan harga yang beragam, mulai dari Rp 85.000 hingga Rp 1,5 juta per set tergantung ukuran.

Seiring dengan semakin mengurangnya  pembeli di pasar.Para pembuat dandang langseng tak kehabisan akal. Teknik berjualan mereka juga mengalami perubahan besar.

Yang dulunya laris di pasar-pasar daerah sekitar kini langseng harus diangkut menuju pelosok luar pulau.

"Mau tidak mau harus jemput bola lah, demi terus bertahan ya luar daerah atau luar pulau juga kami siapkan," imbuhnya.

Teknik menjemput bola, sambung Asep, sangat optimal menahan terjangan alat-alat elektrik modern.

Asep mengaku menyasar daerah-daerah terpencil yang masih jauh dari modernitas, seperti Seperti Sumatera, Flores, dan desa-desa pelosok lainnya. Di sana mereka akan mengontrak rumah dan menjual langseng ke sudut jalanan desa.

"Alhamdulilah sekali berangkat sampai dua truk besar, ya tujuannya daerah yang belum terjangkau alat-alat yang modern," tambahnya.

Baca juga: Merawat Mangrove di Ujung Pesisir Sumatera Selatan

Asep menilai cara ini efektif, mengingat seiring waktu langseng yang telah tergeser oleh kecanggihan teknologi.

Selain itu, cara ini juga sangat ampuh mana kala dua tahun lalu ia dan yang lainnya harus tertatih bertahan dari gempuran pandemi Covid-19.

Entah sampai kapan Asep dan penggiat yang lainnya mampu mempertahankan Kampung Langseng tersebut.

Sebuah tanda tanya besar yang kerap menganggu, selain dari pada produk asing yang tanpa henti mengkerdilkan usaha mereka.

"Mudah-mudahan masih bisa bertahan, ini mah warisan, saya terus berupaya bertahan aja, bukan hanya saya dan keluarga tapi identitas Kampung ini juga harus dipertahankan," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com