BANDUNG, KOMPAS.com - “Jadi guru jujur mengabdi memang makan hati,” sepotong lirik lagu Iwan Fals berjudul Oemar Bakrie yang dirilis tahun 1981 itu, masih relevan hingga sekarang.
Bahkan, tak hanya makan hati, perjuangan guru honorer pun harus makan waktu dan makan sabar. Pil pahit bernama janji harus ditelan mentah-mentah tanpa penawar.
Begitulah yang dialami Desti Sukmawati (48), guru honorer di salah satu Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Baca juga: Gaji Guru Honorer di Gunungkidul di Bawah UMK, Ada yang Dibayar Rp 300.000 Per Bulan
Seperti sudah hatam dan kenyang dengan kata "pengabdian", Desti telah mencicipi asam garam dunia pendidikan nasional yang menurutnya tak tentu arah.
14 tahun sudah ia menjadi guru honorer. Bukan waktu yang sebentar untuk memahami setiap persoalan di dunia pendidikan. Mulai dari kenyamanan hingga ketidakadilan hilir mudik datang padanya.
Dalam rentan waktu itu pula, ratusan anak didiknya telah menjelma menjadi manusia dan menemukan cita-citanya. Mulai dari sekolah favorit, perguruan tinggi ternama, hingga bekerja di perusahaan besar.
Namun nasib Desti, tetap terkatung-katung, tidak bergerak, jauh dari sejahtera, dan betul-betul tanpa tanda jasa.
Saat dijumpai di ruangannya, Desti menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya sebagai seorang pendidik.
Ia mengajar di sekolah kecil dan jauh dari kategori favorit. Rata-rata, anak didiknya hanya ingin melanjutkan sekolah yang tak jauh dari tempat asalnya.
Melihat itu, ia harus berjuang keras memberikan motivasi lebih agar murid-muridnya memiliki daya saing dengan murid di sekolah lain.
Dalam satu angkatan, masih hitungan jari murid-murid yang mau dan kemudian melanjutkan ke sekolah yang lebih baik atau favorit.
"Ya begitu, kompleks sekali persoalannya, tapi saya kan guru, harus bisa memotivasi lebih buat mereka agar lebih maju lagi," ujarnya.
Meski ia sadar betul, nasibnya menjadi guru honorer masih belum ada kejelasan sama sekali. Namun, ia kerap memiliki kenikmatan tersendiri hidup sebagai tenaga pendidik.
"Saya awalnya kerja biasa di pabrik atau jadi apa gitu di luar dunia pendidikan, tapi sekarang jadi guru, udah lama, tapi sekarang jadi guru, saya nikmati segala prosesnya," beber dia.
Desti merupakan guru Pendidikan Kewarganegaraan. Ia mengajar delapan kelas dari Senin hingga Kamis.