KOMPAS.com - Saat mendengar penutur bahasa Sunda berbicara, acap terdengar kata-kata seperti teh, euy, atuh, atau mah yang terselip di dalamnya, walaupun tuturan yang diucapkan dalam bahasa Indonesia.
Bahkan tak jarang kata-kata tersebut "menular" kepada penutur bahasa lain karena saking seringnya terdengar.
Guru Besar Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad) sekaligus dosen pada Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad, Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum., mengatakan bahwa kata-kata kecil tersebut dalam gramatikal bahasa Indonesia secara umum disebut dengan partikel.
Akan tetapi, secara Linguistis, Cece menjelaskan, kata-kata kecil itu juga bisa dikategorikan sebagai fatis.
Baca juga: Saat Bahasa Sunda Menggema di Berlinale Film Festival...
"Ciri bahasa Nusantara banyak ditaburi kata-kata kecil itu. Bahasa lain ada tapi tidak sebanyak bahasa Nusantara, di antaranya bahasa Sunda dan Jawa, itu banyak sekali," kata Cece kepada Kompas.com, Sabtu (26/11/2022).
Cece menerangkan, kelas kata fatis atau partikel semacam itu memang berfungsi untuk mengekspresikan rasa karena bahasa daerah merupakan bahasa rasa.
"Pada umumnya, fungsinya (fatis atau partikel) untuk menguatkan saja, tapi itu (teh, euy, atuh, dan mah) juga menjadi karakteristik fitur-fitur sintaksis atau kalimat bahasa Sunda," ujar Cece.
"Jadi kan kalimat itu bisa saja kata-katanya (berasal dari) bahasa sunda tapi rasa bahasa sundanya tidak ada. Dengan kata-kata (partikel atau fatis) yang begitu, rasa sundanya ada," imbuhnya.
Baca juga: 11 Bahasa Daerah di NTT Disebut Terancam Punah
Terkait seringnya penutur bahasa Sunda menyelipkan partikel-partikel tersebut dalam percakapan bahasa Indonesia, menurut Cece, hal itu terjadi karena para penutur tersebut kesulitan mencari padanan kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia.
"Penutur Sunda yang berbahasa Indonesia jadi kesulitan mencari padanannya karena diterjemahkan ini tidak kena, diterjemahkan itu tidak kena, jadi akhirnya terbawa partikel-partikel kecil itu, mewarnai penggunaan bahasa Indonesia," ucap Cece.
"Hal itu menjadi ciri khas bahasa Indonesia ragam Jawa Barat, ragam masyarakat Sunda, karena ketidakadaan konsep atau partikel itu di dalam bahasa Indonesia, jadi dibawa menjadi campur kode," jelasnya.
Cece menuturkan, Teh dan 'tuh' berbeda arti. 'Tuh' menunjukkan ke arah penunjukan, sedangkan teh menekankan kata yang mengikutinya.
Baca juga: Belajar Bahasa Korea di Desa Pedawa Buleleng, Peserta Bayar Pakai Sampah Plastik
Dia mencontohkan, budak teh gering (ini anak sakit), jadi gering-nya itu yang ditekankan. Dalam konteks tersebut, teh berfungsi untuk menekankan kata yang selanjutnya.
Sementara itu, Cece melanjutkan, dalam bahasa Indonesia "anak itu sakit", kata 'itu' merujuk pada anak.
"Bahkan teh bisa menjadi penanda subjek, misalnya budak teh gering, maka yang menjadi subjeknya adalah budak," kata Cece.
"Kalau diperpanjang, budak nu gering teh dibawa ka rumah sakit (Anak yang sakit itu dibawa ke rumah sakit), sebelum teh itu subjek, selanjutnya yang mengikutinya itu adalah predikat," terangnya.
Dengan demikian, Cece menyampaikan, ada kalanya teh juga menjadi pemarka atau penanda subjek.
Baca juga: Daftar 62 Bahasa Daerah di Maluku
Cece menjelaskan, euy merupakan jawaban atau respons dalam bahasa Sunda kasar. Laki-laki penutur bahasa Sunda akan menjawab kulan ketika dipanggil oleh orang lain, sedangkan perempuan akan menjawab kah.
"Tetapi, ada kalanya juga euy sebagai pengganti kata ganti orang kedua, 'ka mana euy?' (ke mana kamu?), bisa juga seperti itu. Jadi euy bisa digunakan untuk mengganti kata 'kamu'," ungkap Cece.
Cece mengatakan, atuh memiliki banyak fungsi dalam bahasa Sunda, bisa sebagai permintaan, menyuruh, mengajak, maupun yang lainnya.
"Jadi (atuh) pada dasarnya pelengkap agar pembicaraan lebih mengalir. Artinya pun tidak ada, karena sebetulnya kata-kata partikel itu tidak ada artinya kalau secara mandiri, baru ada artinya ketika dalam konteks," ujarnya.
Menurut Cece, bahasa Indonesia formal tidak memiliki kata yang sepadan dengan atuh, karena kata tersebut telah menjadi bahasa percakapan, bahasa yang memang biasa digunakan ketika berdialog, termasuk untuk memperlancar perbincangan.
Baca juga: 10 Ragam Bahasa Daerah di Aceh, Salah Satunya Bahasa Aceh
"Jadi orang Sunda merasa "tidak puas" kalau tanpa atuh," ungkapnya.
Menurut Cece, tak sedikit masyarakat Sunda asli yang masih tidak bisa membedakan, kapan memakai mah kapan memakai teh.
"Kalau mah itu biasanya digunakan untuk membandingkan, kalau teh menekankan," tuturnya.
Misalnya, kata Cece, 'saya mah dari Jawa Barat', artinya ketika mengucapkan mah harus ada yang dikontraskan atau dibandingkan.
Cece mengaku, dia belum menemukan partikel-partikel semacam itu pada naskah-naskah lama berbahasa Sunda.
"Pada dasarnya ini adalah kata-kata yang memang menjadi ciri khas, secara historis mungkin terkait dengan bahasa Austronesia," duganya.
Dia menyatakan, bahasa-bahasa daerah lain juga memiliki ciri khas bahasa Austronesia, yakni partikel-partikel kecil yang bertaburan di dalam kalimat.
"Betawi barangkali banyak juga, dong, ih, loh, kok, itu kan bahasa daerah sebetulnya, Melayu Betawi, beda dengan bahasa Indonesia," kata Cece.
"Intinya, bahasa daerah itu bahasa rasa, jadi partikel-partikel semacam ini untuk mengekspresikan perasaan kita sebagai manusia," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.