Ia mengungkapkan, kondisi seperti ini sudah ia rasakan bertahun-tahun. Baginya yang hanya buruh pabrik, ia tak punya pilihan lain selain mensiasati kondisi tersebut.
"Gimana lagi, saya orang pas-pasan, mau pindah juga enggak ada uang. Ini aja untuk dapet rumah ini mati-matian dulu," kata dia.
Hal senada dikatakan Ade Parman (50) yang juga warga Kecamatan Rancaekek. Dia mengaku tak bisa mengandalkan air tanah karena bau dan kotor.
"Kalau pakai air tanah, keluarnya kuning, bau, kotor. Tangan dan baju kita juga bisa kuning," kata Ade.
Ade merasa, memiliki pompa penyedot air di wilayahnya merupakan hal yang sia-sia. Meski warga sudah menyedot dengan pompa air, tetap saja air tersebut tak bisa dimanfaatkan dengan maksimal.
"Saya masih bersyukur air ada, maksudnya enggak kekeringan, cuma kualitasnya enggak layak, jadi yang kami keluhkan bukan soal ada atau tidaknya air tapi kualitasnya," jelas dia.
Berbeda dengan Ahyar, Ade terpaksa harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga Rp 2.000-2.500 per dirigen.
"Ya memang jelek airnya, enggak bisa dipake apa-apa. Emang dari dulu kondisinya kayanya gini, mau gimana lagi," kata Ade.
Ade mengatakan terpaksa membeli air bersih dengan dirigen untuk mencuci pakaian dan serta dikonsumsi untuk air minum.
"Kalau air tanah itu dipakai nyuci ya nanti ke pakaiannya kuning-kuning, udah pernah nyoba, apalagi dipakai minum bahaya, jadi yang nambah lagi pengeluaran beli air bersih," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.