Saat itu kondisi transportasi publik belum seperti sekarang. Pemilik kendaraan roda empat masih terbilang jarang.
Profesi sebagai sopir taksi era itu sangat menjanjikan. Apalagi, taksi yang mangkal di stasiun kereta api.
Saat itu merupakan masa keemasannya, zaman di mana kendaraan umum seperti taksi menjadi primadona bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Kota Bandung.
"Kalau dulu saya bisa dapet Rp 200.000 sampai Rp 300.000 sehari. Nilai segitu kan zaman dulu besar, bisa menafkahi keluarga sampai menyekolahkan anak ke jenjang yang tinggi," kata dia.
Pada tahun 1996, kata dia, pihak KAI mengakomodir para sopir taksi dalam sebuah wadah paguyuban.
"Sebetulnya kami itu di sini sebagai sopir taksi karena sudah dari dulu. Akhirnya KAI juga menerima kami," terangnya.
Nazarudin mengatakan, rata-rata penumpang melihat dan menganggap dia dan sopir taksi lainnya merupakan bagian dari KAI atau fasilitas yang diberikan KAI.
Penilaian itu bukan hanya karena kostum semata, tapi karena KAI meminta para sopir taksi di Stasiun Bandung yang tergabung dalam Paguyuban, bersikap ramah dan santun kepada penumpang.
"Kurang lebih tahun 1996 kita diakomodir. Sekarang itu kemungkinan penumpang itu sudah tidak melihat kami sebagai sopir taksi lagi, tapi sudah bagian dari KAI. Soalnya mereka juga menerima kami, kami juga sama dengan porter harus ramah tamah," ungkapnya.
Meski hanya berprofesi sebagai sopir taksi, ternyata setiap tetes keringat dari bekerja keras sejak tahun 1983, telah membuahkan hasil.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.