BANDUNG, KOMPAS.com - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat telah memetakan indeks risiko wilayah yang rawan kekeringan di wilayah Jawa Barat. Ada 11 daerah di lima wilayah Jawa Barat yang telah mengalami kekeringan.
Kasi Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat Hadi Rahmat mengatakan, kejadian kekeringan paling banyak ada di Bogor.
"11 kejadian (kekeringan) itu di lima wilayah. Paling banyak Bogor, lalu di wilayah Pangandaran, Majalengka, sama Karawang, yang terbaru di Kabupaten Cirebon," kata Hadi, Kamis (3/8/2023).
Hadi mengatakan, wilayah terdampak kekeringan tersebut saat ini terkendala suplai air bersih dan air baku.
Baca juga: Puncak Kemarau Kering Diprediksi Agustus, BMKG Imbau Warga Jabar Hemat Air
"Misalnya sumur kering, juga belum terdistribusi air menggunakan pipa, mata air tidak keluar. Air bersih untuk minum, air baku untuk mandi," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga telah memetakan wilayah rawan kekeringan dengan level rendah, sedang, dan tinggi.
Wilayah dengan risiko tinggi kekeringan adalah Kabupaten Bogor, Indramayu, Majalengka, Sukabumi, Cianjur, dan Kabupaten Bandung.
"Cuma titik mananya belum bisa diukur. Kita berbicara kesiapsiagaan, makanya pemda setempat harus bersiap terjadinya kemungkinan," tambahnya.
Pihak BPBD jabar telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penata Ruang (PUPR) untuk menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan warga.
Bahkan, Pemerintah Provinsi sudah menerbitkan SK darurat kekeringan yang diterbitkan SK Gubernur pada 10 Juli lalu. Hal ini dalam rangka siap siaga di kabupaten/kota Jabar untuk menghadapi potensi bencana yang biasanya ditindak lanjuti pemerintah kabupaten kota untuk menerbitkan siaga di wilayahnya masing-masing.
"Tentunya dari laporan masyarakat terkait kekurangan air bersih ini tentu harus dipenuhi pemerintah, melalui BPBD yang koordinasi dengan instansi teknis, dan instansi lainnya. Yang pasti kewajiban pemerintah melayani masyarakat agar kebutuhan dasarnya terpenuhi," ucapnya.
Baca juga: Kepala BNPB dan Menko PMK Serahkan Bantuan untuk Warga Terdampak Bencana Kekeringan di Papua Tengah
Sementara terkait potensi Karhutla, Hadi mengatakan, wilayah Jabar berbeda dari Sumatera dan Kalimantan sehingga potensinya tidak terlalu tinggi.
"Namun demikian, kita tak tahu karena wilayah tertentu apalagi sekarang masuk musim pucak kemarau, ini potensi itu akan ada hanya kalau dibanding Sumatera, Kalimantan tak setinggi mereka," ucapnya.
"Yang dikhawatirkan justru karena di Jabar ini hutan tak sebanyak Kalimantan dan Sumatera. Justru penduduk di Jabar menjadi risiko terbesar bencana kekeringan itu sendiri," lanjutnya.
Untuk itu, Hadi mengimbau kepada masyarakat untuk menghemat air hingga menata sumber mata air dalam kondisi puncak kemarau ini.
"Upayakan hemat air," katanya.
Tak hanya itu, warga juga diminta menjaga kebersihan sampah organik dan non-organik untuk menghindari bencana lain di musim hujan nanti.
"Sampah itu bisa kita harus membersihkan itu khususnya di daerah, karena saat ini bisa jadi sampah itu ketika musim hujan jadi sumber banjir bandang. Hindari juga wilayah yang memang bisa menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena biasanya lahan-lahan itu kering di musim kemarau," imbaunya.
Baca juga: Kekeringan di Situbondo Meluas, 900 KK Terdampak
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa kemarau di Indonesia yang merupakan dampak dari dua fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif kali ini diprediksi lebih kering dibanding periode 2020 - 2022.
BMKG juga mengingatkan adanya potensi musim kemarau kering ini puncaknya Agustus hingga September. Menurut Dwikorita, kondisi ini berbeda dengan tiga tahun belakangan, yang dilanda kemarau basah karena pengaruh La Nina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.