Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehidupan Petani di Tasikmalaya yang Jauh dari Sejahtera

Kompas.com - 04/03/2024, 20:03 WIB
Irwan Nugraha,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

TASIKMALAYA, KOMPAS.com- Kehidupan para petani saat ini jadi sorotan menyusul tingginya harga beras sampai Rp 17.000 per kilogram di pasaran. 

Meski harga beras mahal, tak membuat kehidupan petani di perkampungan meningkat kesejahteraannya. 

Mereka seakan hanya bisa bertahan hidupnya dengan stok padi hasil panen musim tanam sebelum terjadinya musim kemarau panjang tahun lalu. 

Baca juga: Sulitnya Penggilingan Kecil Dapat Gabah Dinilai Ikut Buat Harga Beras Mahal

Saat ini, sebagian besar para petani padi di Tasikmalaya, Jawa Barat, mulai memasuki masa tanam baru yang hasilnya bisa dirasakan empat bulan ke depan. 

Senin (4/3/2024) siang, panasnya terik matahari tak menyurutkan ibu-ibu buruh tani bekerja di pesawahan demi mempertahankan kehidupan keluarganya di wilayah Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. 

Mereka mengaku selama ini diberi upah Rp 25.000 per hari bagi buruh tani yang disuruh membersihkan ilalang rumput atau 'ngarambet' supaya pertumbuhan padi kecil tak terhambat atau rusak. 

Biasanya para ibu-ibu buruh tani tersebut disuruh oleh para pemilik lahan atau petani yang diberikan kuasa mengelola sawah oleh pemilik lahan. 

"Mau beras harganya normal atau naik jadi mahal seperti sekarang sekalipun, tetap saja upah saya Rp 25.000 per hari. Ya, karena kami kan hanya buruh tani saja pak. Alhamdulillah masih ada penghasilan, daripada tidak ada sama sekali," jelas Nurahmah (56), salah seorang buruh tani asal Mangkubumi, Kota Tasikmalaya di ladang sawah yang digarapnya, Senin (4/3/2024). 

Kondisi lahan pertanian di Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saat ini memasuki masa tanam usai musim kemarau panjang sampai akhir tahun 2023 lalu pada Senin (4/3/2024).KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Kondisi lahan pertanian di Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saat ini memasuki masa tanam usai musim kemarau panjang sampai akhir tahun 2023 lalu pada Senin (4/3/2024).

Nurahmah mengaku sudah puluhan tahun menjadi buruh tani saat masa tanam padi berlangsung dan biasanya sibuk diperkerjakan lagi saat nanti musim panen. 

Baca juga: Pupuk Subsidi Tak Mencukupi, Petani di Pematangsiantar Berutang

Selama tak bekerja di sawah dirinya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa mengurus suami dan anak-anaknya. 

"Jadi selain disuruh petani lainnya, saya membantu suami saya sebagai pengurus lahan sawah milik orang lain. Kalau suami tiap hari memantau sawahnya supaya tanaman bisa mulus tumbuh sampai masa panen," ujar dia. 

 

Selama ini, lanjut Nurahmah, suaminya mendapatkan hasil pertanian dengan sistem pembagian 'nengah' atau bagi hasil 50:50 antara suaminya dan pemilik lahan. 

Misalkan, sawah yang digarap suaminya 100 bata atau 1.400 meter persegi menghasilkan 10 sampai 15 kuintal gabah padi basah saat panen normal, akan dapat 5 atau 7,5 kuintal padi saat masa panen nantinya. 

"Biasanya, kami menjual hasil gabah padi setengahnya yang didapat hasil tani untuk dijadikan uang. Itu untuk hidup sampai empat bulan sesuai masa tanam ke panen. Setengahnya lagi diproses jadi beras untuk makan," tambahnya. 

Baca juga: Hujan Tak Menentu, Petani Padi di Sikka Terancam Gagal Panen

Namun, hasil uang dari hasil tanamnya yang mulus tanpa ada gangguan seperti itu tak bisa menutupi biaya hidup keluarganya selama ini. 

Misalkan, dari penjualan 3 kuintal gabah padi saat masa tanam sampai panen normal bisa dapat uang Rp 2.4 juta dengan harga padi misal Rp 8.000 per kilogramnya. 

Jumlah itu dipakai untuk kehidupan 4 bulan kalau masa tanam normal, jadi sebulan paling Rp 600-700 ribu penghasilan per bulannya. 

"Kalau ditotal ke penghasilan per bulan paling Rp 700 ribuan lah pak. Itu kalau masa tanam sampai panen normal ya. Tapi, kalau kayak kemarin kemarau, ya tidak dapat sama sekali, karena gagal tanam," ungkapnya. 

Ancaman alih fungsi lahan

Hal sama diungkapkan Neni (53), petani yang menggarap sawah miliknya sendiri dengan luas 60 bata atau 840 meter persegi bersama suaminya. 

Neni mengaku selama ini hanya mengandalkan penghasilan padi sawahnya untuk membiayai kehidupan keluarganya. 

Selama ini, Neni dan suaminya merupakan salah satu keluarga yang mempertahankan lahan sawahnya dalam gempuran alih fungsi lahan jadi perumahan di wilayah perkotaan. 

"Kalau sawah punya tetangga sudah berubah jadi rumah atau perumahan. Cuma saya yang tak jual sawah dari dulu. Meski cuma sedikit lahannya, ternyata sangat bermanfaat sekali bagi keberlangsungan hidup keluarga. Terbayang kalau punya sawahnya luas. Udah aman kerja sebagai petani saja," ungkap Neni di lokasi pesawahan Kawalu, Kota Tasikmalaya. 

Baca juga: Kisah Petani Padi di Sumbawa Semakin Terhimpit Mahalnya Biaya Produksi

Neni mengakui kalau ketiga anaknya yang sudah dewasa saat ini sangat tak tertarik menjadi petani. 

Padahal, kalau lahannya luas, digarap dengan baik sebetulnya enggak perlu kerja juga bisa tercukupi kebutuhan hidup. 

Namun, Neni dan suaminya tak menyangkal kalau anak-anaknya yang sekolah dengan biaya dari hasil petani satu petak sawahnya menginginkan pekerjaan terbaik selain petani. 

"Iya, mungkin gak salah juga sih anak-anak tak ingin jadi petani. Karena kita (orangtua petani) ingin anaknya lebih baik dan jangan asal jadi petani. Rata-rata semua petani seperti saya di Indonesia akan berpikiran sama sebagai orang tua ke anak," ujar Neni. 

 

Kendala alam saat gagal tanam

Sejatinya, para petani sepertinya tak mengeluhkan harga pupuk mahal atau murah dan langka sekalipun. 

Soalnya, sesuai pengalamannya sebagai petani selama ini tak pernah ada kelangkaan pupuk. 

Pupuk bagi para petani diibaratkan nasi bagi manusia, semahal apapun harganya pasti dibeli dan mesti ada karena sudah jadi kebutuhan. 

"Pupuk, pupuk itu sebetulnya wajib. Jadi kalau langka enggak pernah, itu permainan untuk mengatur harga saja sebetulnya. Kalau bagi petani, mau murah ataupun mahal, ya harus ada, pasti maksa membeli. Enggak terlalu pengaruh dengan harga pupuk sebetulnya, karena ya harus ada," kata Neni. 

Baca juga: Harga Ubi Jalar Naik Jadi Rp 5.500 Per Kilogram di Magetan, Petani: Ini Termahal

Selama ini yang paling dikhawatirkan para petani dimanapun, kata Neni, hanyalah kondisi alam. 

Soalnya, saat alam tak mendukung seperti kemarau panjang kemarin menjadi momok menakutkan bagi petani padi karena tak bisa menanam. 

"Nah, itu yang disebut pupuk enggak terlalu dominan ke gagalnya tanam. Karena kalau pupuk banyak, murah, tapi alam tak mendukung, ya tak bisa nanam. Makanya, jagalah alam ini dengan baik," tandasnya. 

Program jaga alih fungsi lahan

Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Tasikmalaya, Adang Mulyana, mengaku kalau daerahnya masih memiliki sumber ketahanan masyarakat unggulan, yakni padi. 

Setidaknya, 200 hektar sawah di Kota Tasikmalaya kini panen empat kali dalam setahun.  

Pola tanam 4 kali panen di lahan sawah sempit wilayah perkotaan ini mampu menambah produksi pangan sampai maksimal 50 persen dalam setahunnya.

Bahkan, Kementerian Pertanian RI saat berkunjung ke Kota Tasikmalaya sempat kaget dengan wilayah perkotaan masih memiliki lahan sawah seluas 3.800 hektar yang masih aktif.

"Dari 3.800 hektar sawah, 200 hektar di antaranya berhasil tanam 4 kali. Itu jadi unggulan produksi pangan di Kota Tasikmalaya," jelas Adang di kantornya, Senin (4/3/2024). 

Baca juga: Cerita Petani Gunungkidul Panen di Tengah Harga Beras Melambung

Adang menambahkan, selama ini suplai di pemukiman warga masih sebagian besar mengandalkan beras dari hasil panen sawahnya.

Masyarakat Kota Tasikmalaya tak mengandalkan beras Bulog selama ini seperti di wilayah perkotaan lainnya di Indonesia.

"Kota Tasikmalaya ini meski perkotaan, tapi lahan pertaniannya masih bisa menunjang ketahanan pangan," tambah Adang. 

Selain itu, Pemkot Tasikmalaya telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang LP2B atau Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Perda itu nantinya akan melindungi lahan sawah yang potensial supaya tak beralih fungsi mejadi pemukiman atau lainnya.

"Kita atur bagaimana caranya sesuai dengan legalisasi pemerintah lahan sawah tak berubah drastis atau bebas jadi lahan pemukiman. Kita benar-benar jaga itu," ujar Adang. 

 

Permasalahan harga beras di pasaran ikut tinggi saat ini karena Kota Tasikmalaya memiliki pasar Induk Cikurubuk yang menopang kebutuhan pangan di Priangan Timur. 

Warga Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Banjar sampai Pangandaran berbelanja dan menjual hasil pertanian ke Kota Tasikmalaya.

Kegiatan itu ikut mempengaruhi fluktuasi harga selama ini. 

"Kalau misalkan hasil tani Kota Tasikmalaya memenuhi suplai beras di pasaran tentu tidak, karena pasar induk di kita (Tasikmalaya) memenuhi beberapa daerah penyangga. Tapi kalau ketahanan pangan dari hasil pertaniannya, relatif aman," pungkasnya. 

Baca juga: Kisah Petani Padi di Sumbawa Semakin Terhimpit Mahalnya Biaya Produksi

Hal sama diungkapkan Ketua Forum Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kota Tasikmalaya, Mumu Nuryaman, mengaku Dinas Pertanian Kota Tasikmalaya selama ini terus mendorong motivasi dan berbagai bantuan peningkatan produksi tani ke 655 kelompok tani dan lainnya.

Seperti 200 lahan hektar sawah yang berhasil panen 4 kali dalam setahun merupakan program berkelanjutan yang terus ditingkatkan.

"Memang kendala para petani adalah kondisi alam paling penting. Makanya dengan adanya Perda, minimal lahan sawah masih terjaga dengan baik dan tak bisa alih fungsi lahan semena-mena," kata Mumu. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Bandung
Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak 'Allahu Akbar'

Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak "Allahu Akbar"

Bandung
Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Bandung
Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Bandung
Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Bandung
Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Bandung
Pemkab Subang Siapkan 30 Ambulans untuk Antar-Jemput Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Pemkab Subang Siapkan 30 Ambulans untuk Antar-Jemput Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Bandung
Sopir Bus Rombongan SMK Lingga Kencana Depok yang Kecelakaan di Subang Masih Dirawat

Sopir Bus Rombongan SMK Lingga Kencana Depok yang Kecelakaan di Subang Masih Dirawat

Bandung
Identitas 11 Korban Tewas Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Identitas 11 Korban Tewas Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Kesaksian Sopir Bus Maut di Subang, Hilang Kendali Saat Rem Tak Berfungsi

Kesaksian Sopir Bus Maut di Subang, Hilang Kendali Saat Rem Tak Berfungsi

Bandung
Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan Bus di Subang Ditanggung Pemerintah

Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan Bus di Subang Ditanggung Pemerintah

Bandung
Polisi Selidiki Penyebab Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Polisi Selidiki Penyebab Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Kecelakaan Bus di Subang, 1 dari 11 Korban Tewas Diserahkan ke Keluarga

Kecelakaan Bus di Subang, 1 dari 11 Korban Tewas Diserahkan ke Keluarga

Bandung
Bus Rombongan Siswa yang Terguling di Subang Kondisinya Sudah Tua dan Sempat Bermasalah pada Mesin

Bus Rombongan Siswa yang Terguling di Subang Kondisinya Sudah Tua dan Sempat Bermasalah pada Mesin

Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com