Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bongkar Penyebab Kurangnya Dokter Spesialis di Indonesia, Menkes: Kuliahnya Mahal dan Lama

Kompas.com, 6 Maret 2023, 13:50 WIB
Reni Susanti

Editor

BANDUNG, KOMPAS.com - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyoroti kurangnya jumlah dokter spesialis dan subspesialis di Indonesia.

Untuk itu ia meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mempermudah pendidikan dokter spesialis.

Menanggapi permintaan tersebut, Menkes membongkar penyebab kurang dokter spesialis di Indonesia.

Baca juga: Jokowi Ungkap Rp 165 Triliun Devisa Hilang karena 2 Juta WNI Berobat ke Luar Negeri

Model pendidikan dokter spesialis di Indonesia masih berbasis universitas, sehingga calon dokter spesialis harus membayar kuliah.

"Indonesia satu-satunya negara di dunia, dokter spesialis harus bayar ke Fakultas Kedokteran. Itu sebabnya jumlahnya jadi sedikit. Di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Singapura, hingga Australia, pendidikan dokter spesialis gratis," ungkap dia.

"Di Indonesia, kursi spesialis langka dan mahal," ucap dia dalam peresmian Mayapada Hospital Bandung. 

Baca juga: Jokowi Minta Menkes dan Mendikbud Permudah Pendidikan Dokter Spesialis

Kondisi ini ditambah dengan sedikitnya perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki Fakultas Kedokteran. Budi mencatat, dari 514 kabupaten/kota hanya ada 20 Fakultas Kedokteran.

Untuk itu, pihaknya menyiapkan berbagai strategi. Salah satunya menyiapkan 2.500 beasiswa untuk pendidikan dokter, dokter spesialis, dokter subspesialis, hingga ke fellowship.

Fellowhip yang dimaksud adalah biaya untuk mengikuti kurikulum khusus agar memiliki kemampuan tindakan khusus yang dibutuhkan masyarakat.

Contohnya dalam bidang kesehatan jantung. Ada beberapa jenis kurikulum seperti memasang ring, operasi jantung terbuka, dan lainnya.

Ketika yang sangat dibutuhkan masyarakat adalah memasang ring, maka dokter tersebut bisa mengikuti fellowship untuk pemasangan ring.

Hal ini sudah banyak dilakukan di luar negeri. Di berbagai negara, sambung Budi, pendidikan dilakukan oleh kolegium di rumah sakit.

Mereka mendapatkan pemakhiran ilmu di rumah sakit, tanpa perlu belajar ke universitas.

Usulan ini masih diperdebatkan. Namun yang perlu diingat, fokus pemerintah saat ini adalah menyelamatkan nyawa manusia.

"Kalau harus nunggu (kuliah) 4-8 tahun, sudah terlalu banyak orang yang meninggal. Untuk itu, langkah ini perlu dukungan," bebernya.

Selain penyiapan SDM, Kemenkes akan menambah fasilitas alat untuk 514 RSUD. Alat kesehatan ini memungkinkan rumah sakit bisa menangani pasien jantung hingga kanker.

"Berdasarkan perhitungan, kita butuh Rp 3.000 triliun untuk berbagai perbaikan. Untuk pengadaan alat dan sarana rumah sakit, 2-3 tahun selesai. Yang lama menyiapkan SDM-nya," pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Bandung
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Bandung
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau