Salin Artikel

Cerita Rasminah Korban Perkawinan Anak: Sesusah Apa Pun, Jangan Kawinkan Anak Kita...

Dengan tema tersebut, diharapkan perempuan berani untuk bicara terbuka, mengungkapkan bias dan ketidaksetaraan gender yang masih ada.

Namun, apakah anak-anak Indonesia memiliki kesempatakan untuk choose to challenge?

Salah satu korban perkawinan anak adalah Rasminah yang tinggal di sebuah desa terpencil di Indramayu, Jawa Barat.

Ia adalah korban perkawinan anak yang saat ini menjadi tokoh gerakan menghapus perkawinan anak.

Bersama dua perempuan korban kawin anak lainnya, Endang Wasrinah dan Maryati, Rasminah dibantu Koalisi Perempuan Indinesia (KPI) berjuang selama bertahun-tahun untuk membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi UU Perkawinan No.1/1974 soal usia kawin perempuan.

Permohonan itu baru dikabulkan setelah diajukan untuk kedua kalinya dan setelah perdebatan alot di DPR. Setelah menjalani proses yang panjang, akhirnya pasal soal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun diubah.

Rasminah menikah di usia anak. Ia sempat beberapa kali kawin cerai sebelum berusia 18 tahun dan saat ini memiliki 5 orang anak.

Yang berarti saat pandemi jumlah pernikahan anak sangat tinggi.

Angka tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam diskusi pada November 2020.

“Saya bingung, Mbak. Saya kira orang-orang sudah belajar dari kasus saya, dikawinin masih kecil. Eh, sekarang masih banyak aja yang mengawinkan anaknya. Alasan pandemi. Kita tuh, jadi orangtua harus bisa jaga anak-anak kita. Biar sekolah tinggi dulu,” tuturnya, dikutip dari VOA Indonesia.

Ia mengatakan, perempuan memiliki peran lebih besar saat medidik anak sehingga mereka bisa berperan mencegah terjadinya perkawinan usia anak, serta mengingatkan agar anak sekolah tinggi dan bisa mandiri.

“Mereka kan anak kita. Kita yang harus ingatkan supaya mereka sekolah yang tinggi, kerja, mandiri, bahagiakan orangtua, baru kawin."

"Sesusah apa pun, jangan kawinkan anak kita saat pandemi. Saya merasakan betul bagaimana rasanya ketika dikawinkan saat orangtua saya miskin,” ujar Rasminah yang harus keluar dari desanya di Indramayu untuk mendapatkan sinyal agar bisa diwawancarai VOA.

Saat wawancara, Rasminah didampingi putrinya, Julina, yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah kejuruan.

Julina mengaku banyak belajar dari ibunya yang menjadi korban pernikahan usia anak.

“Mama selalu bilang, sudah cukup ia saja yang jadi korban kawin anak. Jadi sekarang saya mau sekolah dulu. Mau dapat pekerjaan bagus,” ujarnya bersemangat.

Saat ini putra pertama Rasminah, Taryamin, sudah bekerja. Sedangkan Julina duduk di bangku kelas I SMK dan Wika di kelas VI sekolah dasar.

Anak kelima Rasminah, Ade, saat ini masih TK dan si bungsu Anita masih belum sekolah.

Mereka kemudian menyusun kebijakan “Perlindungan Khusus Anak Terpadu Berbasis Masyarakat” PATBM – termasuk di dalamnya strategi penurunan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak, penguatan kelembagaan, penyediaan layanan hingga ke tingkat akar rumput dan tentunya kampanye.

Menurut Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin, sinergi itu membuat kasus baru kawin anak mulai turun.

"Memang perlu waktu dan kalau dilihat dari tren angkanya, memang terjadi penurunan, tapi tidak tajam sekali," kata Lenny.

Pada tahun 2017, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,54 persen dan secara perlahan mulai turun menjadi 11.

Angka berubah menjadi 21 persen pada tahun 2018, 10,82 persen pada tahun 2019, dan 10,19 persen pada tahun 2020.

Namun, ia kemudian memaparkan, ada 22 provinsi di Indonesia dengan angka kasus perkawinan anak masih tinggi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.

Selain itu, termasuk Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Papua Barat.

Kemudian, ada Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Papua dan Jawa Timur.

"Ini semua berada di atas angka nasional. Jadi perlu ekstra tindakan, ekstra regulasi, ekstra program, dan kegiatan untuk masing-masing provinsi ini agar bisa melakukan upaya yang konkret untuk menurunkan perkawinan anak,” ujar Lenny.

Kementerian tersebut menargetkan angka perkawinan anak akan mencapai 8,74 persen pada tahun 2024.

Namun, Julina dan banyak anak perempuan lain seumurnya yang sudah mendapat pencerahan mulai berani berbicara.

"Memilih untuk Menantang" sedikitnya bisa menjadi pilihan yang ada bagi mereka saat ini.

Sambil terus membenahi kebijakan dan celah dalam UU Perkawinan yang memungkinkan terjadinya perkawinan di bawah umur dengan menggunakan dispensasi, Kemen PPPA menjalankan sejumlah program.

Antara lain memberi pelatihan hukum pada warga desa yang dikenal sebagai “Perempuan Champions", yakni mereka menjadi ujung tombak sosialisasi dan pendamping jika ada kasus perkawinan anak.

Saat ini pelatihan Perempuan Champions ini baru diberikan di 10 provinsi.

Selain itu, ada pula program Desa Peduli Anak, yakni desa tanpa kekerasan, bebas pornografi, bebas KDRT, anak bebas berhadapan dengan hukum, dan desa tanpa perkawinan anak.

Dengan program-program tersebut, diharapkan dapat membantu mencapai angka perkawinan anak 8,74 persen pada 2024 nanti.

https://bandung.kompas.com/read/2021/03/10/062600678/cerita-rasminah-korban-perkawinan-anak-sesusah-apa-pun-jangan-kawinkan-anak

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke