Salin Artikel

Cerita Para Perempuan Penyitas Depresi Pasca-melahirkan: Saya Takut Anak Saya Mati (2)

Ayahnya, Joyo, tutup usia karena sakit saat usia kandungannya menginjak empat bulan. Tiga bulan kemudian, suaminya, Haryanto, meninggal setelah mengalami kecelakaan sesaat setelah mengantar Mia ke tempat kerja.

Musibah yang datang beruntun dan mendadak, ditambah dengan syok, trauma, serta perasaan bersalah, mendorong Mia jatuh ke lembah depresi.

Kondisinya yang sedang hamil memperburuk gangguan kejiwaannya. Dan bak pisau bermata dua, depresi juga berbalik mengganggu kehamilannya.

Perjuangan Mia melawan depresi tidak mudah meski ia telah berkonsultasi dengan psikiater.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), perinatal adalah periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan.

Jika tidak terdeteksi sejak awal, akan terjadi keterlambatan penanganan dan proses penyembuhan.

Nyawa sang ibu dan keselamatan anaknya pun menjadi taruhan, seperti yang terjadi dalam dua kasus di atas.

Di Bandung, sejumlah ibu dengan perinatal mental health disorder berjuang menyembuhkan diri di tengah stigma dan kesadaran masyarakat yang minim. Ini kisah mereka.

Richa Hadam merasakan kebahagiaan saat hamil anak kedua. Terlebih, kehamilan ini sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya.

Namun berbeda dengan yang pertama, kehamilan kedua ini diiringi perasaan cemas dan ketakutan berlebih.

Richa menduga, perasaan itu muncul karena sifatnya yang jauh lebih perfeksionis dibanding saat mengandung anak pertama. Pada masa kehamilan, Richa juga mengaku lebih sensitif dan mudah marah.

Anxiety disorder atau gangguan kecemasan yang dirasakan Richa semakin menjadi pascamelahirkan.

Richa sendiri menyadari ada yang salah pada dirinya, tapi dia belum memahami "penyakit" apa yang diidapnya.

Kecemasannya semakin lama semakin besar dan sulit dikendalikan, sehingga mulai mengganggu kondisi fisik dan psikisnya.

"Dia belum nangis minta susu, saya sudah susui karena takut anak saya tidak kenyang. Saya juga jadi lebih sensitif. Kalau kata orang zaman sekarang, gampang baper," ungkap Richa.

Gangguan kecemasan yang diidap Richa berubah menjadi depresi pascapersalinan atau postpartum depression karena tidak segera ditangani.

Kondisi terberat dialami Richa saat muncul ketakutan meninggal yang menyebabkan terganggunya aktivitas keseharian dia sebagai seorang ibu dan juga istri.

"Saya takut kalau saya meninggal, anak saya siapa yang mengurus. Ketika mereka membutuhkan saya, siapa yang ada buat mereka. Padahal saya sehat wal'afiat, tidak sakit, tapi muncul perasaaan ketakutan akan meninggal.

"Satu lagi, saya takut menyakiti anak saya. Ketika saya jalan lewat tangga rumah, saya takut anak saya jatuh. Pikiran-pikiran negatif ini muncul di luar kemauan saya, tapi membuat saya sangat tersiksa."

Di suatu titik, Richa bahkan mengaku tidak mau keluar rumah karena kecemasan yang berlebihan.

"Saya jadi superprotektif pada anak-anak saya. Kalau ada yang sakit, saya langsung panik. Kemudian saya jadi mudah tersinggung, begitupun dengan suami. Ketika suami sedikit cuek, acuh, mungkin karena capai pulang kerja, pikiran saya negatif."

"Saya merasa saya tidak cukup baik menjadi istri."

Richa tidak berani mengatakan gangguan mental yang dirasakan kepada suami dan keluarganya. Ia menutup erat semua yang dirasakan karena takut menerima stigma yang tidak baik.

Di luar, dia berusaha tampil "normal", tapi di dalam, Richa tahu ada yang "tidak normal."

"Kalau dari luar, saya kayak biasa ibu normal lainnya. Diajak ngobrol, tersenyum, bahkan tertawa. Tapi di dalam, saya sebetulnya sedih, di dalam saya teriak-teriak minta tolong," ungkap dia.

Setelah anak keduanya berumur 1,5 tahun, Richa akhirnya berobat ke psikiater. Suami dan ibunya mendukung penuh pemulihan Richa.

Setelah menjalani terapi selama satu tahun, Richa merasa kondisinya lebih baik.

Meski demikian, perempuan 32 tahun ini tetap membatasi pergaulannya demi menjaga kestabilan mental. Richa menilai, komentar-komentar orang sekitar terkadang menimbulkan tekanan mental tersendiri.

Dari pengalamannya, Richa mengungkapkan, ibu dengan kondisi depresi pascapersalinan sangat membutuhkan dukungan dari suami, keluarga, dan orang sekitarnya. Keluarga terdekat juga harus menyadari bila si ibu menunjukkan tanda-tanda depresi.

Dukungan bisa diberikan pula dengan menghilangkan stigma.

"Kadang orang yang dalam keadaan depresi, itu stigma orang kurang bersyukur, kurang mendekatkan diri pada Tuhan. Saya pikir itu sudah beda jalur. Mendekatkan diri pada Tuhan itu sangat pribadi."

"Tidak depresi pun kita wajib mendekatkan diri sama Tuhan. Jangan memberikan stigma, jangan menghakimi kalau tidak tahu penyebabnya apa, tapi rangkul," kata Richa.

Kepada ibu-ibu yang mengalami kondisi serupa, Richa berpesan agar berani bicara dan tidak malu mengakui gangguan jiwa yang dialami supaya bisa diobati lebih cepat.

"Karena ini bukan aib. Postpartum depression itu bisa diobati, bukan aib, bukan hal yang memalukan. Justru semakin cepat ditolong, ditangani, akan lebih cepat sembuh," pesan Richa.

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa pada lamanintothelightid.orgdan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.

Wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

https://bandung.kompas.com/read/2021/04/16/062600178/cerita-para-perempuan-penyitas-depresi-pasca-melahirkan--saya-takut-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke