Salin Artikel

Wali Kota Pertama Bogor dan Sebutan yang Berbeda dari Zaman Belanda, Jepang, hingga Kemerdekaan

KOMPAS.com - Jabatan wali kota di Bogor melewati tiga masa pemerintahan, yaitu kolonial Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan. Alhasil , jabatan wali kota menggunakan istilah berbeda terkait pemerintahan pada saat itu.

Merujuk pada zaman kolonial Belanda, wali kota pertama Bogor adalah Backhuis.

Pada 1905, Backhuis menjabat sebagai Burgemeester (walikota) memimpin pemerintahan Buitenzorg (Bogor).

Wilayah administrasi yang baru saja mendapatkan hak otonom dan lepas dari wilayah administrasi Batavia.

Dengan penetapan tersebut, Bogor menjadi salah satu pemerintah kota yang cukup tua di Indonesia.

Pada masa kolonial Belanda juga menggunakan istilah Stadsgemeente (kotamadya) dalam pengelolahan Pemerintahan Kota Bogor. Istilah tersebut hanya digunakan hingga 1942.

Pada saat, Jepang mengambil alih pemrintahan, seluruh istilah yang berbahasa Belanda diganti dengan istilah Jepang.

Stadsgemeente diganti dengan Si dan istilah Burgemeester diganti Sico.

Pemerintah Jepang juga mengganti nama-nama daerah di Jawa dan Madura.

Sebutan Residentie Buitenzorg sebagai wilayah administratif yang mencakup Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, diganti menjadi Bogor Syuu.

Kota Bogor atau Buitenzorg yang waktu itu masih menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bogor bersama Ciawi, Cibinong, Parung, Leuwiliang, Jasinga, dan Cibarusa. Pada masa itu, nama Buitenzorg diganti menjadi Bogor.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang pemerintahan yang erat kaitannya dengan pemerintah daerah.

Pada masa itu, R. Odang Prawiradipraja menjadi orang pertama yang memimpin Bogor. Namun, Belanda kembali menguasai Bogor sehingga penyebutan wilayah dan pimpinan kembali menggunakan istilah bahasa Belanda.

Setelah kekuasaan Indonesia kembali pulih pada 1950, istilah Stadsgemeente diganti Kota Praja. Jabatan wali kota dipegang R. Djoekardi selama dua tahun sampai 1952.

Penunjukan Kepala Daerah 

Perbedaan istilah tersebut tidak lain karena kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah yang berwenang.

Pada zaman Belanda, kepala daerah ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Penunjukkan kepada daerah itu berlaku untuk kabupaten dan kecamatan. Sedangkan, wilayah provinsi diisi langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada 23 November 1945 Presiden Republik Indonesia Soekarno mengesahkan Undang-Undang No 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah sebagai dasar penyelenggaraan di daerah.

Berdasarkan undang-undang ini, Komite Nasional Daerah berubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjalankan pemerintahan bersama dan dipimpin oleh kepala daerah.

Selanjutnya, Undang-Undang No 1 Tahun 1945 diubah dengan Undang-Undang Pokok No 22 Tahun 1948 tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam pasal 18 di UU Pokok No 2 tahun 1948 menyebutkan bahwa kepala daerah provinsi diangkat oleh presiden dari sedikit-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat calon. Calon diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

Sedangkan, kepala daerah kabupaten (kota besar) diangkat oleh menteri dalam negeri dari sedikitnya dua dan sebanyak banyaknya empat calon. Calon tersebut diajukan Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).

Sumber: poso.bawaslu.go.id dan tribunnews.com

https://bandung.kompas.com/read/2022/01/28/200107678/wali-kota-pertama-bogor-dan-sebutan-yang-berbeda-dari-zaman-belanda-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke