Salin Artikel

Vonis Penjara Seumur Hidup Herry Wirawan dan Tuntutan Mati yang Tak Diamini Hakim

Vonis Herry dibacakan hakim dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa.

Hakim berpandangan, tidak ada tindakan yang meringankan hukuman Herry.

Sementara hal yang memberatkan hukuman Herry adalah tindakan terdakwa dinilai telah merusak korban, khususnya perkembangan dan fungsi otak.

Begitu juga dalam sistem kepercayaan yang dianut korban, tak lagi bisa mempertimbangkan yang benar dan salah.

Tindakan terdakwa juga dinilai berpotensi mencemarkan nama lembaga pesantren dan orangtua enggan untuk mengirimkan anak mereka belajar di pesantren.

Hakim juga berpandangan bahwa perbuatan terdakwa membuat keluarga korban dan keluarga terdakwa trauma. 

Dalam amar putusannya, hakim juga memutuskan anak dari korban pemerkosaan Herry dititipkan untuk dirawat Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Herry juga tidak diperkenankan bertemu dengan para korban apa pun alasannya.

Mengapa tak vonis hukuman mati dan kebiri?

Tak ada satu pun tuntutan jaksa yang dikabulkan oleh hakim.

Seperti diketahui, jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Herry serta hukuman pidana tambahan berupa pengumuman identitas dan kebiri kimia. Namun, tuntutan itu tak dikabulkan.

Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi atau ganti rugi kepada korban sebesar Rp 331.527.186.

Selain itu, jaksa menuntut agar hakim membubarkan yayasan pesantren milik Herry, termasuk Madani Boarding School, menyita aset serta barang bukti untuk dilelang.

Tuntutan ini juga tak dikabulkan hakim.

Keadilan bagi para korban

Hakim tidak memvonis Herry hukuman mati dan memilih menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup karena alasan keadilan.

"Majelis hakim perlu memberikan keadilan bagi para korban, maka didapatkan manfaat dan keadilan bagi korban, terdakwa, dan masyarakat," kata Ketua Majelis Hakim Yohanes Purnomo, dikutip dari Antara.

Menurut hakim, hukuman penjara seumur hidup sudah cukup untuk menjauhkan Herry  dari para korban.

"Kontak dalam bentuk apa pun, di mana pun, kapan pun, akan memungkinkan timbulnya trauma. Oleh karena itu adalah baik antara terdakwa dan anak korban dan terdakwa tidak bertemu atau bertatap muka," kata hakim.

"Menimbang bahwa hidup manusia adalah adalah suci, maka majelis hakim berpendapat akan baik memberikan pidana kepada terdakwa yang demikian. Namun, tidak memungkinkan lagi terdakwa bertemu dengan para anak korban," tambah hakim.

Terkait hukuman kebiri, hakim menyebut hukuman itu tidak bisa dijatuhkan terhadap terpidana mati dan penjara seumur hidup.

Dalam hal ini Herry divonis penjara seumur hidup.

Sedangkan untuk restitusi, dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA),

Begitu juga soal pembubaran yayasan, hakim menilai baik pendirian maupun pembubaran diatur dalam undang-undang tentang yayasan.

"Subyek hukum adalah perorangan bukan korporasi, sehingga dengan sendirinya pembubaran yayasan itu perlu dengan perdata dan bukan dengan pidananya," kata Yohanes, dikutip dari Antara.

Terkait vonis hakim, JPU meminta waktu berpikir selama tujuh hari untuk menentukan sikap.

Sementara, kuasa hukum Herry, Ira Mambo mengatakan, putusan tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan keinginan Herry.

Herry memilih mengambil sikap untuk pikir-pikir selama tujuh hari.

Berbagai reaksi

Sejumlah pihak bereaksi dengan vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan terhadap Herry Wirawan.

Salah satunya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pria yang akrab disapa Emil ini menghormati keputusan hukum atas kasus tersebut.


Namun, dia berharap hukuman terhadap Herry sesuai dengan tuntutan jaksa yaitu hukuman mati.

Sedangkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga berharap, vonis yang dijatuhkan dapat menimbulkan efek jera tak hanya kepada Herry, tetapi juga bisa mencegah kasus serupa terulang.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni juga ikut bereaksi atas putusan itu.

Sahroni kecewa atas putusan hakim. Dia berpendapat, majelis hakim mestinya memberi hukuman yang lebih berat agar memberi efek jera kepada pelaku pidana yang serupa.

"Saya melihat putusan ini kurang fair, mengingat apa yang sudah pelaku lakukan terhadap para korban. At least ada hukuman kebiri dan angka denda pidana maupun restitusi yang lebih besar bagi para korban," kata Sahroni, dalam siaran pers, Selasa (15/2/2022).

Menurut Sahroni, putusan tersebut mencederai perasaan korban dan keluarganya karena tidak sesuai dengan rasa keadilan.

Sementara, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan, putusan vonis hukuman penjara seumur hidup kepada Herry, telah memperhatikan kebutuhan pemulihan korban.

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suryo pun mengatakan, meski majelis hakim tak mengabulkan tuntutan hukuman mati dari JPU, tapi vonis penjara seumur hidup sudah cukup memberi efek jera.

"Soal hukuman seumur hidup itu sudah cukup (memberi efek jera) karena orientasi hukum pidana kita bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga korban. Itu yang diperhatikan," kata Hasto kepada Kompas.com, Senin (15/2/2022).

Keluarga korban minta Herry dihukum mati

Sebelum sidang vonis, keluarga korban sempat menyampaikan harapannya agar Herry dijatuhi hukuman mati.

Keluarga menilai tidak ada alasan pembenaran dalam perbuatan Herry yang memerkosa 13 santriwati.

"Ya kalau keluarga mah tetap hukuman mati, hukumannya maksimal," ujar kuasa hukum korban, Yudi Kurnia, saat dihubungi, Selasa.

"Dilihat dari unsur-unsurnya sudah terpenuhi. Syarat hukuman mati itu kan korban lebih dari satu orang. Itu sesuai dengan aturan ya, dan itu sulit dibantahkan," ucap Yudi. (Penulis : Kontributor Bandung Dendi Ramdhani, Agie Permadi, Mutia Fauzia, Ardito Ramadhan|Editor : Egidius Patnistik, Diamanty Meiliana, Khairina, Abba Gabrillin)

https://bandung.kompas.com/read/2022/02/16/052000578/vonis-penjara-seumur-hidup-herry-wirawan-dan-tuntutan-mati-yang-tak-diamini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke