Salin Artikel

Harga Pertamax Naik, Warga Beralih ke Pertalite, Antrean Panjang di SPBU di Bandung

BANDUNG, KOMPAS.com - Usai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax, yang semula Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 per liter, sebagian warga di Rancaekek, Kabupaten Bandung, beralih ke BBM jenis Pertalite.

Hal ini menyebabkan antrean panjang di salah satu SPBU di Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Pantauan Kompas.com, sejak pukul 13.49 WIB, para pengendara khususnya roda dua terlihat mengantre di lajur pengisian ulang Pertalite.

Salah seorang konsumen, Arif Abdulah Rasyid (33), mengaku terdampak akibat kenaikan harga Pertamax.

"Mau enggak mau harus pindah ke Pertalite, harga Pertamax naik jadi Rp 12.500, kalau Pertalite kan lebih murah," ujarnya saat ditemui di lokasi, Jumat (1/4/2022).

Arif mengatakan, sudah sejak lama menggunakan Pertamax. Menurut dia, bahan bakar Pertamax memilik dampak yang bagus terhadap mesin motornya.

Namun, pascakenaikan harga Pertamax, ia terpaksa harus mengganti bahan bakar motornya menggunakan Pertalite.

"Lama saya mah pakai Pertamax, kata bengkel bagus ke mesin. Tapi karena naik, ya sudah pindah ke Pertalite," jelasnya.

Selain itu, keputusan Arif untuk pindah ke Pertalite lantaran ia harus menghemat pengeluaran bulanan.

"Kalau maksain pakai Pertamax, waduh gaji saya kayaknya habis, udah pakai Pertalite aja, kan cuma Rp 7.650 masih kekejarlah," tambahnya.

Sementara itu, petugas SPBU Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rafi Agustian (25), mengatakan bahwa antrean pengisian BBM sudah terjadi sejak kemarin malam.

Hanya saja, kata Rafi, malam kemarin rata-rata yang mengantre ada di jalur Pertamax sebelum masuk tanggal ditentukannya kenaikan Pertamax.

"Malam juga sudah, cuma kemarin mah yang antre di jalur Pertamax, sekitar jam 22.00 sampai jam 23.30-lah," ujar Rafi.

"Kalau yang antrean Pertalite ini baru tadi pagi sama barusan selesai Jumatan," sambungnya.


Tetap gunakan Pertamax

Berbeda dari Arif, Didit Cahyo Nugroho (21) tetap menggunakan Pertamax meski harganya naik.

Didit mengatakan, alasan tetap menggunakan Pertamax lantaran pertimbangan kualitas mesin motor.

"Motor saya yang ini mesinnya sudah di bore up, jadi memang harus pakai Pertamax," kata Didit.

Kendati tetap menggunakan Pertamax, Didit mengaku mengetahui harga Pertamax naik.

"Semalam lihat di TV, terus orangtua juga ngasih tahu," jelasnya.

Mengakali kenaikan harga Pertamax, Didit menyebut akan menormalkan mesin motornya atau menggunakan motor yang lain.

"Paling dinormalin lagi, kalau enggak, pakai motor yang ada aja di rumah buat ke kampus mah," tambahnya.

Meski begitu, dia tetap mengeluhkan kenaikan harga tersebut.

"Sekarang uang jajan saya cuma Rp 30.000 per hari, buat bensin berapa, buat makan dan rokok, ya tapi sekarang maksain aja dulu takut mesin kenapa-kenapa, sing geura turun deui lah (semoga cepat turun lagi)," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/04/01/163211378/harga-pertamax-naik-warga-beralih-ke-pertalite-antrean-panjang-di-spbu-di

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com