Salin Artikel

Cerita Perajin Kampoeng Radjoet Binong Jati Bandung Bangkit dari Pandemi hingga Raih Omzet Miliaran Per Bulan

BANDUNG, KOMPAS.com- Fesyen pakaian rajut belakangan ini mulai menjadi tren di kalangan masyarakat Indonesia khususnya anak muda.

Mulai dari ciput, kerudung, konektor masker, sweater, cardigan, rok, sampai kaus kaki sudah menjadi produk industri kreatif rajut.

Jika dulu pakaian rajut identik dengan pakaian orang yang sedang sakit, pakaian orang lanjut usia, atau hanya dipakai di musim dingin, sekarang pakaian rajut sudah beralih menjadi pakaian keseharian yang biasanya dimanfaatkan muda mudi sebagai outer atau baju luaran.

Para perajin rajut di Kampoeng Radjoet Binong Jati, Kota Bandung, mencoba memanfaatkan peluang ini.

Terpuruk

Meskipun di awal pandemi Covid-19, pelaku usaha di Kampoeng Radjoet sempat terpuruk. Mereka rata-rata tidak mampu bersaing dalam perdagangan digital.

Koordinator Kampoeng Radjoet, Eka Rahmat Jaya mengatakan, banyak pelaku UMKM yang kesulitan menyesuaikan diri dengan masifnya jualan online di awal pandemi.

"Terutama dari kalangan yang sudah senior-senior seangkatan bapak saya," beber Eka, Selasa (5/4/2022).

Eka menceritakan, bagaimana perjuangan para perajut Binong Jati di tengah pandemi Covid-19.

Sebagai generasi ketiga yang mewarisi usaha rajut, Eka menjelaskan, sejak tahun 1970-an tempat ini bernama Sentra Rajut Binong Jati dan diubah menjadi Kampoeng Radjoet Binong Jati pada 2014.

Saat ini terdapat sekitar 400 perajin rajut yang bertahan hidup di Kampoeng Radjoet Binong Jati. Masing-masing perajin rajut memiliki 10 hingga 20 karyawan. Jadi, ada sekitar 4.000 tenaga kerja yang diserap.

Sebelum pandemi, para perajut memasarkan produknya dengan cara konvensional. Berjualan kaki lima atau dengan menitipkan barangnya di toko-toko di Pasar Baru Bandung dan Tanah Abang.

Digitalisasi

Perlahan tapi pasti, para perajin rajut di kawasan Binong Jati mulai bertumbuh dengan membuat produk-produk yang lebih variatif dan berkualitas.

Selain itu, agar bisa mengikuti perkembangan zaman, para perajin juga sudah mulai memasarkan produknya secara digital.

"Pas pandemi melonjak, pasar-pasar pada tutup. Kita harus putar otak, akhirnya dicobalah beralih ke digital. Awalnya memang sulit, tapi lama-lama jadi bisa baca polanya, yang penting main di konten dan branding," akunya.

Dari penjualan digitalisasi yang dilakukan sejak dua tahun ke belakang, Eka mengatakan, para perajin rajut kini mampu meraup omzet miliaran rupiah per bulannya.

"Dari jualan online, usaha saya sendiri saja semasa pandemi minimal Rp 1 miliar per bulan. Kalau Kampoeng Radjoet ini bisa lebih, berkali lipat, karena kita upload juga lewat marketplace," ungkapnya.

Lantaran kini pakaian rajut tengah digandrungi, Eka mengatakan, Kampoeng Radjoet Binong Jati kebanjiran pesanan di masa pandemi.

Contohnya di bulan Ramadhan ini, penjualan di Kampoeng Radjoet Binong Jati mengalami kenaikan penjualan.

Jika dianalisis, lanjut Eka, sejak terjun ke dunia digital dalam satu tahun penjualan produk-produk rajut di Kampoeng Radjoet Binong Jati bisa tiga kali mengalami kenaikan.

Jika dulu 90 persen pemasukan berasal dari penjualan offline dan 10 persen dari online, kini sebaliknya.

Penjualan lewat online dan marketplace menjadi ceruk utama mesin-mesin di Kampoeng Radjoet Binong Jati tetap hidup.

"Terutama di Ramadhan ya, itu pasti. Khususnya di pakaian kasual dan hijab yang biasanya pembeliannya naik. Para reseller saya dari TKI dan TKW di Singapura dan Malaysia juga sering minta tambah stok. Kita juga sempat ekspor 50.000 lusin kupluk ke Amerika," tuturnya.

Agar bisa memenuhi tingginya permintaan, Eka mengatakan, para perajin rajut harus mulai beralih dari mesin rajut konvensional menjadi mesin rajut komputer.

Namun karena SDM di Binong Jati belum ada yang bisa mengoperasikan mesin rajut komputer, maka mesin rajut konvensional masih jadi pilihan utama.

"Sehari itu bisa jadi satu lusin kalau pakai mesin manual. Kalau kita pakai computerized bisa tiga kali lipatnya atau lebih. Tapi tentu SDM-nya harus diupgrade juga. Harus tahu cara mengoperasikan mesin komputer ini," imbuhnya.

Bahan Baku Mahal

Tingginya permintaan produk-produk rajut ternyata bukan tanpa kendala. akhir-akhir ini para perajut dihadapkan dengan harga bahan baku benang acrylic wool yang semakin mahal.

"Ya ini dampak dari demand atau permintaannya fesyen rajut naik juga. Jadi, bahan bakunya pun naik," ungkapnya.

Bekerjasama dengan Universitas

Agar tetap bertahan tanpa menjatuhkan harga produk rajut produksi Binong Jati, branding dan konten media sosial menjadi faktor penting. Para perajin rajut wajib mencari tren yang sedang ramai di media sosial.

Agar para perajin bisa lebih optimal dalam dunia digital dan mengikuti perkembangan tren, Kampoeng Radjoet Binong Jati melakukan kerja sama dengan beberapa kampus di Kota Bandung untuk mengajak mahasiswa magang lewat program 'Sekolah Rajut'.

Beberapa kampus yang diajak kerja sama antara lain Unpar, Unpad, Unpas, Telkom University, Unibi, Politeknik Ganesha, dan kampus lain yang memiliki fakultas tekstil seperti ITB dan STT Tekstil. Kerja sama ini dikatakan Eka saling menguntungkan.

"Anak muda itu keren-keren idenya. Mereka juga melek teknologi, beda dengan generasi kami. Saya ingin anak muda senang dan mau bantu kembangkan rajut Binong Jati," ucap dia. 

"Kita kerja sama dengan kampus-kampus untuk belajar bareng digital marketing. Mereka bikin konten dan brandingnya, kita sediakan produknya," pungkasnya. 

https://bandung.kompas.com/read/2022/04/06/060500078/cerita-perajin-kampoeng-radjoet-binong-jati-bandung-bangkit-dari-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke