Salin Artikel

Menyusuri Selasar Sunaryo, Tempat Transitnya Seniman Indonesia ke Kancah Internasional

BANDUNG, KOMPAS.com - Didirikan saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan politik, tepatnya 1998, Selasar Sunaryo kini menjadi rumah para seniman muda yang belum memiliki nama.

Bisa dibilang, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) sebagai tempat transitnya para seniman Indonesia hingga akhirnya mereka bisa berhasil di kancah internasional.

Setidaknya itulah yang dirasakan Sunaryo, seniman kaliber dunia yang juga pemilik Selasar Sunaryo Art Space.

"Saya lihat ke Singapura, Hong Kong, dan negara lain, ada nama seniman Indonesia (pameran di sana). Nama-nama tersebut pernah ada di sini," ujar Sunaryo kepada Kompas.com di SSAS Bandung, akhir pekan lalu.

Baginya Selasar Sunaryo sekarang masih sama dengan dulu saat ia berjuang mendirikannya. Dulu, Selasar membangun komunitas untuk berkesenian.

Tidak hanya bagi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tempat ia mengajar, tapi bagi siapapun yang memiliki kemampuan seni rupa.

Ada kalanya, ia memodali mereka kanvas, agar mereka bisa mencurahkan kemampuan melukisnya. Diam-diam, lukisan tersebut ia pajang di pameran ITB.

"Mereka (yang melukis) pada kaget," ucapnya sambil tertawa.

Infrastruktur Seni Rupa

Sunaryo menjelaskan, pada masa Presiden Soeharto, seni rupa tengah booming di Indonesia. Hal itu membuat galeri dinilai sebagai sesuatu yang komersil.

Anggapan ini membuat Sunaryo ragu membuat galeri. Namun ia memberanikan diri tetap membangunnya. Dibantu Jim Supangkat, Sunaryo mewujudkan mimpinya membangun Selasar Sunaryo.

"Jim Supangkat bilang selasar itu open koridor, ada unsur yang memanjang semacam transit untuk lewat. Menggambarkan proses eksperimental dan lainnya," beber dia.

Itu pula yang membuat Sunaryo melambangkan SSAS sebagai trapesium. Hal itu bisa dilihat saat pengunjung memasuki SSAS.

"Trapesium itu separuhnya (dari bentuk bangunan rumah), karena itu Selasar Sunaryo ingin berkontribusi membantu membangun infrastruktur seni rupa di Indonesia,” tutur dia.

Salah satu programnya adalah Bandung New Emergence. Di sini, seniman yang tidak menempuh sekolah dan belum memiliki nama bisa menampilkan karyanya.

Ada pula kurator yang ingin meniti karir. Bagi mereka, SSAS bisa menjadi wadahnya. Bahkan SSAS menyediakan mentornya.

"Bisa menjadi semacam transit bagi mereka sebelum berkiprah lebih jauh,” ucapnya.

Pameran 'Menyatakan Jarak'

Seperti yang sekarang terlihat di SSAS. Ada sejumlah pameran yang tengah digelar.

Misalnya di Ruang Sayap, terdapat dua perupa muda, Rizal N Ramadhan dan Nadya Jiwa memamerkan karya bertajuk ‘Batang Mati, Cendawan Tumbuh’ dengan kurator Puja Anindita.

Rizal menampilkan instalasi seni dan cetak digital. Sedangkan Jiwa menampilkan lukisan. Karya mereka berangkat dari amatan terhadap kondisi sungai kehidupan yang beberapa bagiannya telah termakan usia, hingga melahirkan tafsir soal abadi dan yang sementara.

Kemudian di Ruang Bale Tonggoh, terdapat pameran bertajuk ‘Menyatakan Jarak : Bandung-Leiden’. Pameran yang diikuti mahasiswa Integrated Arts Universitas Parahyangan (Unpar) ini mengajak pengunjung menyelami spektrum lain dari sejarah masa lalu.

Sejumlah karya ditampilkan. Beberapa di antaranya foto monokrom objek salah satu sudut di Kota Bandung yang ditempel di atas plastik berwarna cerah karya Zaldi Armansyah.

Karya lainnya datang dari Zico Albaiquni. Beberapa arsip foto dengan objek yang berbeda disatukan dengan latar Kebun Raya Bogor.

Pada masa sebelum kolonial Belanda, tempat tersebut merupakan hutan buatan. Ada titik di lokasi tersebut menjadi tempat semedi, prasasti, satu keluarga bermain, hingga berbagai makanan.

Karya lain yang sarat akan kritik sosial adalah sawit. Karya ini menggambarkan bagaimana hutan di Indonesia diubah menjadi kebun.

Bagus Pandega dan Kei Imazu menggambarkan lukisan tersebut dengan dominasi hijau dan hitam.

Menunjukan sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah Hindia Belanda hingga Jepang.

Uniknya, dengan menggunakan mesin bernama Artificial Green by Nature 3.0, lukisan itu perlahan-lahan akan dihapus.

Caranya, mesin itu digerakan oleh sistem komputasi yang berasal dari sensor pohon sawit. Di ujung mesin, terdapat kuas dan selang air untuk menghapus lukisan. Pohon sawit yang berada di ruangan disinari oleh sinar ultraviolet agar tetap hidup.

“Lukisan ini menggambarkan bagaimana pohon sawit berkembang di wilayah Palembang hingga berkembang dan menyumbang deforestasi yang mengancam tanaman dan hewan endemik (di berbagai wilayah),” ucap penggagas pameran tersebut, Theo Frids Hutabarat.

Menurut Theo, proyek besar ‘Anonim’ berlatar dari dibukanya arsip kolonial di KITLV secara digital dan daring. Akses tersebut bisa mengantarkan kepada ruang yang sudah dikenal namun di saat bersamaan tampak asing, sebab ada di luar spektrum sejarah yang dikenalkan di bangku sekolah.

https://bandung.kompas.com/read/2022/05/25/101912578/menyusuri-selasar-sunaryo-tempat-transitnya-seniman-indonesia-ke-kancah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke