Salin Artikel

Kisah Asep Pengusaha Topi Jatuh Bangun Saat Pandemi, Kini Tembus 32 Negara

Meski meneruskan jejak orangtua yang mencari peruntungan di dunia fashion, nyatanya tak semudah membalikan tangan.

Warga Kampung Kiaracondong, Desa Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mesti mengasah diri dari hari ke hari, serta menaklukan waktu demi lahirnya produk topi paling berkualitas.

Kala merintis jumlah orderan yang minim tetap dilakoni, sambil membantu menjual produk milik orangtuanya.

"Saya hanya mampu 50 kodi kelas pasar seminggu waktu merintis langsung, saya juga kadang beli topinya, sekalian menjualin sama yang orang tua. Karena orang tua juga sudah bergerak di topi," katanya kepada Kompas.com, Selasa (31/5/2022).

Bermodalkan uang pinjaman dari bank sebesar Rp 100 juta, Asep nekat memantapkan diri membangun usaha sendiri.

"Saya enggak menyangka bisa sampai sini, dulu cuma punya modal Rp 100 juta itu juga dari bank," jelasnya.

Serupa pribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, Asep menjalankan usahanya hingga mampu menciptakan topi dengan kualitas premium.

Tidak tanggung-tanggung, dalam sepekan 3.000 sampai 5.000 topi bisa diproduksi, dengan menyentuh pasar Jakarta dan Bali.

"Saat itu, kita enggak langsung sebar ke semua daerah, Jakarta dan Bali saja. Di luar agen kita, kita enggak kirim, istilahnya lock lokasi. Kemudian Karena barang terbatas juga," terangnya.

Dari hanya bermodal uang pinjaman, saat ini omset yang bisa diraihnya dalam satu bulan bisa mencapai Rp 3 miliar.

"Menginjak di angka segitu lah, ya enggak menyangka, kalau serius ya pasti hasilnya membuktikan," ujarnya.


Tembus pasar dunia

Hasil tidak akan mengkhianati proses, hal itu menjadi pegangan Asep menjalankan bisnisnya.

Benar saja, produk buatannya di lirik oleh pasar asing.

Kepada Kompas.com pria yang saat ini diamanahi sebagai Ketua Rukun Warga (RW) di kampungnya itu menceritakan prosesnya.

Saat itu, Asep sedang memasarkan produk topinya secara online.

Tiba-tiba ia dihubungi oleh warga Indonesia keturunan Amerika Serikat dan memintanya untuk memperlihatkan produk topi milik Asep.

"Kalau yang ke Amerika awalnya lucu sih, jadi pertamanya mereka itu nyari tempat produksi topi di Indonesia, kemudian nemu kita di Bandung. Setelah komunikasi, langsung, datang ke Bandung. Jadi dia itu nanya dulu alamat, karena kami nyimpen alamat di toko online kita," kata Asep.

Asep menganggap cerita perjalanannya menembus pasar dunia lucu sekaligus berbumbu malu.

Pasalnya, saat dibawa ke rumahnya (tempat produksi pertama) sedang dalam keadaan banjir akibat tanggul jebol.

Kini kerja samanya dengan orang Amerika Serikat itu sudah terjalin selama tujuh tahun.

"Terus kita bawa ke tempat produksian yang lama, kebetulan banjir. Jadi gagal tuh lihat produksian, tapi lanjut ngobrol dan bikin sample terus coba-coba dulu produksi, sedikit-sedikit, sampai sekarang sudah tujuh tahun kerja sama bareng dia. Dari tahun 2013," tuturnya.

Khusus untuk topi yang dikirim dan dijual ke pasar asing, kata dia, diolah dari bahan sampah.

Mulai dari penggunaan kancing topi terbuat dari kaleng bekas, bekas kemasan makanan atau minuman.


Kain sisa bekas jok motor atau mobil, sampai fiber plastik bekas ember digunakan untuk menjadi bahan topi.

Ditambah lagi, salah satu sanak saudaranya bergerak di bidang pengolahan sampah sehingga tidak menyulitkan Asep untuk menciptakan topi dari sampah.

"Untuk yang Amerika bahannya emang recycle dari bahan bekas, kebetulan dulu ada yang dukung dari pabrik fiber masih dari keluarga. Itu yang bikin tertarik karena ada prosesnya di sini," ungkapnya.

Awalnya, untuk pasar Amerika Serikat, ia hanya membuat topi biasa pada umumnya, tentu dengan kualitas tinggi.

Namun lambat laun, kerja sama itu meminta lebih yaitu membuat topi kostum dan membuka kerja sama dengan perusahaan kelas dunia.

"Untung sekarang berkembang pesat karena mereka juga menerima pembuatan topi kostum di seluruh perusahaan luar negeri, mereka kirim email bikin penawaran, kaya kemarin Google, Qatar Air Waste kita bikin," tutur dia.

Asep menuturkan, untuk topi yang dijual di pasar dunia diberi nama TOPIKU. Pembuatan TOPIKU dalam sebulan mencapai lebih dari 6.000 pesanan.

"Produksi sekarang kalau untuk TOPIKU itu di 3.000 sampai 6.000 per bulan untuk yang kualitas premium, itu belum termasuk yang distro-distro lain sama sekarang juga kita bikin segmen topi pasar kualitas premium tapi beda dari yang lain," katanya.

Asep tidak menyangka usaha yang dimulainya dengan modal pas-pasan ini bisa menembus pasar dunia.

Tercatat, saat ini TOPIKU sudah menembus di hampir 32 Negara.

"Sebetulnya bukan Amerika saja, Kanada, Belanda, Inggris, Perancis. Arab juga ada, Qatar dan Dubai. Hampir 32 Negara, Malaysia dan Singapura sudah," tambahnya.


Bangkit dari pandemi

Meski telah menembus pasar dunia, di hadapan pandemi, usaha milik Asep pun luluh lantah.

Mulai dari pesanan yang banyak dibatalkan, kesulitan menutupi biaya produksi, sampai 80 persen pegawai yang harus dirumahkan.

"Sebelum pandemi mah sekitar 200-300 orang, sekarang 50 orang itu juga merintis lagi, waktu pandemi diberhentikan dulu para pegawai sekitar 1,5 tahun bertahap, ada yang pengunduran diri, sampai menghilang sendiri juga ada," kata dia.

Seperti menerima pukulan telak, Asep goyah tersungkur dan hampir tidak sanggup bangkit.

Omset yang awalnya mencapai miliaran rupiah, saat itu, untuk mencapai Rp 100 juta pun sulit.

"Sedikit lumayan turun, karena semua orderan hampir di-cancel, karena kondisi keuangan mereka juga sama. Banyak yang di rumahkan, luar biasa perjuangan waktu pandemi, pengaruhnya besar sekali hampir di 80 persen," tuturnya.

Saat itu, Asep berpikir keras agar bisa bangkit dan tak kalah oleh pandemi.

Jalan satu-satunya yang di ambil adalah berinovasi. Pasalnya, hanya itu yang mampu membuka kembali jalan yang hampir redup.

"Tidak ada cara lain inovasi, kita mulai bikin topi pasar tapi dengan kualitas premium, yang harganya di atas pasaran yang biasa, kualitasnya super," kata dia.

Benar saja, inovasinya membuahkan hasil.  Satu persatu Karyawan mulai kembali. Bahkan omsetnya mulai terkumpul untuk kembali mencapai target.

"Sekarang pegawai, ada sekitar 50 sampai 80 orang lah, konsepnya kata garmen sekarang. Omset mulai bangkit belum sampai target seperti dulu saat sebelum pandemi. Sekarang baru menginjak Rp 1,5 miliar," katanya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/06/01/154054578/kisah-asep-pengusaha-topi-jatuh-bangun-saat-pandemi-kini-tembus-32-negara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke