Salin Artikel

Kisah Penganut Aliran Kebatinan Perjalanan Berjuang Lepas dari Stigma

Mahkamah Konstitusi juga membatalkan Pasal 64 ayat 1 dan 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Isi pasal itu adalah kolom agama untuk penduduk yang kepercayaanya belum diakui atau penghayat kepercayaan tak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penghayat kepercayaan berhak mencantumkan kepercayaan mereka di identitas kependudukan, seperti KTP dan kartu keluarga.

Jauh sebelumnya, para penganut aliran kepercayaan yang hidup di Indonesia mengalami situasi yang pelik terkait pengakuan negara terhadap keberadaan mereka.

Setiawan alias Alo (40), penyuluh terampil penganut kepercayaan, menceritakan pengalamannya saat belum ada kebijakan pemerintah terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Semasa kecil Alo sering merasa aneh tumbuh sebagai penganut aliran kepercayaan.

Sejak sekolah dasar (SD), guru di sekolah kerap merasa canggung ketika akan mengajarkan Alo sesuatu. Terlebih, soal pendidikan agama.

"Sebelum ada aturan itu, memang kita terasa aneh. Saya mesti berkali-kali mengenalkan diri bahwa saya bukan seorang Muslim atau enam agama yang diakui pemerintah (pada saat itu)," katanya kepada Kompas.com, Jumat (3/6/2022).

Saat itu, Alo melihat keraguan dari duru di sekolah dasar. Tak aneh, kata dia, jika terjadi rasa canggung atau terbentuk kekakuan ketika proses pengajaran.

Kendati merasa aneh, Alo secara pribadi enggan melihat hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi.

Bahkan, ia pernah meminta gurunya agar tidak ragu mengajarkan sesuatu padanya. Termasuk pendidikan agama di luar yang ia yakini.

"Karena saya juga diajarkan orangtua bahwa setiap ajaran itu pasti punya perbedaan tapi ada persamaannya juga bahkan tujuannya baik semua, tapi kalau cara penyampaian tergantung orang yang menyampaikan," ujarnya.

Pemerintah pada saat itu memberikan kebijakan khusus penghayat agar pada kolom agama di isi menggunakan tanda strip (-).

Kebijakan tersebut, sempat dianggap tidak berpihak kepada masyarakat penghayat.

Bahkan, Alo pernah dengan sengaja menguji kebijakan tersebut, apakah sampai ke tingkat desa atau tidak.

Saat itu, Alo berniat membuat KTP baru di Kecamatan Ciparay.

Awalnya berjalan biasa, tapi ia kaget ketika KTP tersebut selesai di kolom agama terisi angka 7, bukan tanda strip (-) seperti kebijakan pemerintah.

"Bukan tidak percaya atau berlaga, tapi saya hanya memastikan kebijakan tersebut sampai tidak ke tingkat kecamatan atau desa. Ternyata waktu bikin KTP baru kolom agama malah di isi angka 7," tuturnya.

Merasa aneh, Alo menulusuri penyebab kebijakan diisi angka 7 dalam kolom agama.

"Kalau pernah mengisi formulir apa pun, pas kolom agama itu kan hanya ada enam yang terisi agama. Nah, ada kolom ke-7 yang tertulis 'Lainnya'. Jadi sebetulnya itu maksud dari angka 7 di kolom agama KTP waktu itu," ujarnya.

Tidak sampai di situ, ketika masih diisi tanda strip (-) diakuinya, banyak terjadi kesalahpahaman di masyarakat.

Sempat tersiar kabar, bahwa yang di kolom KTP nya strip (-) dianggap tak beragama atau ateis.

"Waktu strip (-) mah terjadi keanehan, bukan diskriminasi, mungkin kesalahpahaman dan ketidaktahuan tapi karena ya seperti ini adanya, karena dilihat dari kolom KTP Kosong," terangnya.

Kendati sudah diakui pemerintah, tapi setiap wilayah punya tingkat kesulitannya masing-masing.

Tak aneh, kata Alo, jika masih ditemukan kolom KTP para penghayat masih strip (-) atau angka 7, bahkan kosong.

"Mungkin masih ada di daerah lain yang seperti itu. Tapi bisa jadi belum serentak karena di semua wilayah mungkin masih terkendala teknis," beber dia.

Kolom agama di KTP Alo sendiri baru terisi dengan tulisan "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa" setelah menikah.

"Sekarang mah sudah enggak, setelah menikah. Saya bersyukur sudah diakui pemerintah secara administrasi," tuturnya. 

Hal itu dilakukan agar anak-anak tetap tidak mengalami pengalaman yang pernah Alo alami.

"Sebelumnya, tentang pendidikan kepercayaan itu tidak ada, jadi waktu zaman saya SD belum ada tuh pendidikan itu. Belum ada kurikulum, silabus, mudah-mudahan sekarang bisa berjalan lancar," kata Alo.

Proses Alo mendapatkan sertifikasi penyuluh tidak semudah membalikan tangan.

Ia dan kawan-kawan di AKP juga organisasi penghayat lainnya harus berjibaku mengenal perangkat pendukung pengajaran.

Akhirnya mereka didorong oleh Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) untuk mendaftarkan diri ke Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

"Sampai 2009 sempat menanyakan ke orang pendidikan tentang apa itu kurikulum, silabus dan RPP, ada juga Bimtek dari Kementerian, per organisasi di bawah MLKI," ujar dia.

Alo menyebut anak-anak penganut kepercayaan harus percaya diri dengan keyakinannya.

Seperti yang diajarkan di AKP "Lahir Kaulaning Nagara, Batin Kaulaning Rasajati, Kuring Kaulaning Gusti".

Falsafah ini, kata dia, mengajarkan banyak hal tentang kehidupan beragama, patuh pada negara dan keyakinan pada Tuhan.

Pendidikan kurikulum kepercayaan, kata dia, menjadi sebuah langkah agar terwujudnya masyarakat yang setara, tanpa ada stigma masyarakat kelas dua.

"Bagaimana kami meregenerasi kepercayaan kami pada keluarga kami sendiri, salah satunya ini memberikan pembelajaran kurikulum pendidikan yang digabung atau ditambah dengan kesenian yang ada di masyarakat," tuturnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/06/04/070900978/kisah-penganut-aliran-kebatinan-perjalanan-berjuang-lepas-dari-stigma

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke