Salin Artikel

Cerita Pedagang Pasar Majalaya, Bergelut di Tengah Kenaikan Harga

Riuh seperti terpisah jauh, dan hanya dimiliki sebagian pelapak seperti pedagang daging, sayur dan kebutuhan hari-hari di pasar tradisional yang lama menunggu diperbaharui.

Kondisi itu, hinggap juga di raut wajah orang-orang yang berkeringat mencari penghidupan di sana.

Warung Nasi milik Dayat Solihin (63) misalnya, ramai seperti enggan datang.

Dayat terus saja menatapi jalan-jalan kecil dan sepi pasar Stasiun Majalaya, menunggu langkah kaki yang datang karena perut yang lapar.

Dayat hanya ditemani obrolan sederhana dari para pelapak yang menumpang bercengkrama.

Kendati masih hangat, lauk pauk yang dipajang di Etalase warung Dayat terasa dingin, menunggu disentuh.

Wajar saja, pemilik warung nasi ini gelisah, sejak kemarin, ia mesti menunggu hingga matahari terbenam agar hidangan yang dijualnya habis.

Pun dengan hari ini, ia takut harus menunggu hingga larut di tengah usianya yang tak lagi muda.

Kekhawatirannya mesti bertambah saat mengetahui harga Elpiji ukuran 12 Kilogram meroket.

Sejak Minggu, (10/7/2022) kemarin, harga Elpiji 12 kilogram naik menjadi Rp 210.000.

Dayat harus merogoh kocek lagi guna mendapatkan gas yang menjadi bahan penting dalam usahanya.

"Gas ukuran 12 kilogram saya pakai sudah lama, kalau usaha kaya saya sih ukuran ini jadi pilihan, kenapa? Karena bisa bertahan 3-5 harian. Sekarang naik, saya dalam seminggu harus nambahin terus, bayangin kalau sebulan," katanya.

Kendati mengetahui gas ukuran 3 kilogram ditujukan untuk warga menengah ke bawah, Dayat mesti berpikir ulang untuk menggunakan gas tersebut.

"Bukan enggak mau pake yang 3 kilogram, tapi saya repot juga kalau harus ganti gas tiap hari," jelasnya.

Kenaikan gas Elpiji ukuran 12 kilogram, sudah dirasakannya sejak akhir tahun lalu.

Ia kaget, dalam waktu singkat harga gas Elpiji 12 kilogram bisa naik hingga lebih dari Rp 50.000.

Dayat hanya bisa pasrah, serta menelan ludah mendengar dan melihat kebijakan tersebut.

"Masih ingat Desember tahun 2021, Gas Elpiji 12 Kg hanya Rp 140.000, kemarin saya beli harganya Rp 210.000 per-tabungnya, naik lagi, gak ngerti saya," terangnya sambil mengelus dada.

Jauh sebelum Covid melanda, warung nasinya bisa menjual hampir 500 porsi sehari, dengan berbagai harga per-porsi, mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 15.000.

"Sekarang kalau mau nyampe 150 atau 200 porsi saya harus nunggu sampai larut, waktu Pandemi apalagi nyampe 50 atau 100 saja habis-habisan tuh. Sekarang harga gas naik, ini makin bingung, apa pemerintah pengen liat pengusaha kecil kaya saya pada bangkrut?" katanya sambil menahan emosi.

Sementara, tak jauh dari warung nasi Dayat. Kemelut juga hinggap di wajah Aman Sulaeman (48).

Kendati kumandang azan shalat Jumat mulai terdengar, Aman masih menunggu pembeli lain datang untuk menjajaki sayuran dagangannya.

Hingga matahari menuju singgasananya, hanya belasan pembeli yang datang ke kios yang Aman sewa sejak 2010.

Sejumlah sayuran, dan bahan bumbu dapur seperti cabai dan bawang masih diposisi yang sama, tak berubah sejak subuh ia membuka kios.

"Memang harga sudah turun sejak Idul Adha, tapi masih tergolong tinggi lah, kemarin kaya cabai rawit itu nyampe Rp 200.000 per kilogram, sekarang Rp 120.000 per kilogram, bawang juga Idul Adha nyampe Rp 100.000 per kilogram sekarang Rp 70.000 per kilogram," ujar dia.

Aman pun merasa khawatir dengan kenaikan harga gas Elpiji.

Bahkan, ia menduga kenaikan komoditi yang di jualnya, bukan hanya imbas dari cuaca saja, tapi juga imbas dari kenaikan harga.

"Kalau di posisi sekarang, saya malah sering nutupin (nombok), abis mau gimana lagi. Takutnya ini pada belum stabil harga karena kenaikan gas juga," kata Aman.

Aman tidak sampai hati jika harus menaikan harga. Satu sisi, ia takut kehilangan pelanggan, sisi yang lain ia berjualan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Jadinya dilema, kenapa kalau situasi kaya gini kita yang di bawah yang repot. Saya punya istri di Rumah kebayang kalau harga semua naik, mau makan apa kita ? Makanya saya belum kepikiran buat naikin harga lagi, nunggu yang lain juga," jelas Aman.

Dugaan Aman tidak keliru, Ratih (36) warga Desa Bojong, Kecamatan Majalaya ini mengaku setelah Idul Adha belum membeli bahan-bahan mentah bumbu dapur.

Ia mengaku kenaikan harga membuatnya memilih bumbu siap saji. Belum lagi harga gas nonsubsidi yang kembali naik, membuatnya kebingungan mensiasati ekonomi di rumahnya.

"Jujur aja, niatnya mau buka usaha habis Idul Adha tapi liat harga semakin naik, tambah lagi gas juga naik, saya urungkan niatnya, saya juga gak tahu ini mensiasati sehari-hari kalau kondisinya kaya gini," jelasnya yang kerap berbelanja di pasar Stasiun Majalaya.

Soal kenaikan gas, Ratih mengatakan terpaksa kembali menggunakan Elpiji ukuran 3 kilogram, lantaran tidak memungkinkan jika harus menggunakan gas 5 kilogram atau 12 kilogram.

"Ya mau gimana lagi, kembali ke gas 3 kilogram kalau harganya gak sesuai dengan bulanan saya," ungkapnya.


Kenaikan harga lumpuhkan masyarakat rentan

Pengamat Ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Setia Mulyawan, menyebut kenaikan harga beberapa waktu ini, terutama kebutuhan nonsubsidi akan sangat berdampak pada masyarakat dengan kategori rentan.

Masyakarat kategori rentan, kata dia, merupakan warga yang memiliki penghasilan yang minim.

"Seperti, warga yang penghasilan Upah Minimum Regional (UMR) rendah, atau pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)," kata Setia.

Masyarakat tergolong rentan, lantaran tidak termasuk ke dalam kelompok masyarakat miskin yang menerim subsidi.

Tapi, lanjutnya, kenaikan harga nonsubsidi ini akan berpengaruh besar pada pengeluaran dan menyedot habis pendapatan mereka, sehingga mereka menjadi penerima subsidi.

Ia berpendapat, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk subsidi sudah terlalu banyak, hal itu akan berdampak pada beban anggaran negara.

"Di sisi lain, pembatasan barang subsidi ini juga perlu dilakukan agar tidak membebani negara," jelasnya.

"Kita tahu, hampir seperenam anggaran negara itu ditujukan untuk subsidi bahan bakar. Kalau terlalu banyak, ya enggak akan sehat, ini perlu diimbangi, dan diarahkan untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi," sambung dia.

Selain itu, ia juga menyoroti masyarakat berpendapatan tinggi yang masih mengakses barang-barang bersubsidi, sehingga subsidi tidak lagi tepat sasaran.

Adanya aplikasi untuk mengukur dan memantau pendistribusian subsidi, sambungnya, harus dioptimalkan.

”Aplikasi seperti kemarin itu justru untuk mengarah ke masyarakat menengah ke bawah yang sulit mengaksesnya. Karena itu, yang perlu adalah memicu kesadaran warga tanpa harus dipersulit,” terangnya.

Kondisi seperti merupakan rintangan berat bagi mereka yang menjalaninya di akar rumput.

Mereka mesti terus bersiasat demi menutupi kebutuhan sehari-hari.

Besar kemungkinan kesadaran serta perhatian pemerintah menjadi pelipur lara, menjadi harapan bukan hanya mereka yang berkeringat di Pasar Stasiun Majalaya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/07/15/120015078/cerita-pedagang-pasar-majalaya-bergelut-di-tengah-kenaikan-harga

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com