Salin Artikel

Cerita Warga Kampung Muara Kabupaten Bandung, Belasan Tahun Hidup dengan Banjir

BANDUNG, KOMPAS.com - Bagi sebagian orang mungkin hujan merupakan berkah. Namun bagi Yayah (45), warga Kampung Muara, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, setiap kali hujan yang dirasa adalah kekhawatiran dan takut.

Bukan tanpa sebab, perasaan itu muncul. Pasalnya, selama 17 tahun terakhir, banjir menjadi momok yang menakutkan bagi Yayah.

"Saya tinggal di sini sejak 2005, pas banjir lagi besar-besarnya. Sudah 17 tahun, hidup dengan banjir. Mau gimana lagi, dipaksa untuk biasa," katanya ditemui Kompas.com di kediamannya, Sabtu (16/7/2022).

Bagi Yayah, hujan dengan intensitas tinggi atau rendah, dengan waktu lama atau sebentar, selalu mengkhawatirkan.

"Hujan turun sejak kemarin. Memang nggak besar tapi waktunya lama. Hasilnya ya kayak gini, banjir," terangnya.

"Kalau yang hari ini, air datangnya sekitar pukul 05.00 pagi, pas saya mau ke pasar," sambungnya sambil mengatakan setiap kali hujan datang, dirinya hanya bisa pergi ke pasar.

Lima tahun lalu, Yayah ingat ketika dia bersama warga Kampung Muara harus mengungsi karena banjir tak bisa lagi dikompromi.

"Bahkan lima tahun ke belakang mah saya sampai ngungsi, ya masih ingat terus kondisi itu," ujarnya.

Kala itu, banjir hampir menutupi rumah dengan lantai dua. Banyak dari masyarakat yang harus mengungsi atau memutuskan bertahan di lantai dua rumahnya.

"Paling tinggi 2 meter, saya ngalamin yang tingginya sampai segitu. Kalau sekarang paling 40 cm sampai 1 meter," terangnya.

Yayah mengungkapkan, di RW 7 wilayah yang kerap terlanda banjir yakni RT 4,5,6,7 dan 8.

"Sekarang cuma wilayah RW 7 aja terus cuma 5 RT, semuanya kan ada 12 RT, kalau banjirnya gedhe udah pasti semua kebanjiran," terangnya.

Ibu rumah tangga yang saat ini mengandalkan hidup sehari-hari hanya dengan berdagang rokok, mi instan dan kopi siap seduh di depan rumahnya ini mengaku, tak ada kesempatan menyelamatkan barang berharga ketika banjir datang.

"Kadang, kalau banjir gedhe datang sering langsung membuang pakaian. Kalaupun mau dicuci, harus gimana nyucinya? terus di mana ?," tanyanya.

Tak ada sesuatu yang bisa ia anggap berharga ketika banjir datang. Malah, air sungai Cisangkuy (anak sungai Citarum) hanya membawa sampah serta bau busuk bangkai hewan.

"Banjir bukan hanya membawa air saja tapi juga sampah, kalau banjir datang sampah itu bisa memanjang hampir 5 meter dari jembatan, gak maju karena tersendat jembatan," terang dia.

Banjir yang sudah menahun menghampiri kampungnya ini, kata Yayah merupakan air kiriman dari hulu.

"Air banjir ini datangnya dari sungai-sungai yang arah Banjaran, kalau air dari Pangalengan di buka pintu airnya, pasti di sini banjir besar," ungkapnya.

Kendati ada kolam retensi yang dibangun pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi (Pemprov), Yayah mengaku tak ada pengaruh apapun.

"Kolam retensi yang ada di wilayah sini tidak berpengaruh, berpengaruhnya hanya yang dekat kolam retensi, dekat Kampung Ciputat," kata dia.

Informasi yang ia ketahui, sejauh ini Kampung Muara belum dibuatkan saluran pembuangan air banjir yang menuju ke kolam retensi.

"Kalau terlalu sering mah ya saya juga bosen, kecuali sudah dibangunkan saluran pembuangan air ke kolam retensi mungkin kehidupan kita bisa berubah," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/07/16/182225078/cerita-warga-kampung-muara-kabupaten-bandung-belasan-tahun-hidup-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke