Salin Artikel

Kisah Abah Ajo, Petani Segala Rupa yang Sukses Ajarkan Sarjana Pertanian Berbagai Kampus

Hampir separuh usianya didedikasikan pada dunia pertanian. Oase yang tak pernah ia tinggalkan sejak tidak sanggup lagi mengenyam dunia pendidikan.

Laki-laki itu disapa dengan panggilan Abah Ajo.

Meski sudah berusia lanjut, dia tidak pernah minder mengayunkan cangkulnya dari lahan satu ke lahan yang lain, sekalipun itu bukan miliknya.

Hidup di bawah garis kemiskinan, tidak membuat sosok berusia 64 tahun ini merasa kalah.

Kepada Kompas.com, Abah Ajo berbagi cerita perjalanannya yang malang melintang mencangkul kaki Gunung Manglayang.

Pilihannya menjadi seorang petani, bukan tanpa alasan. Pendidikan yang layak, hidup serasa menak sejak dulu tak pernah ia bisa jangkau.

Berbekal dari pengalaman orangtua, tangan kecil Abah Ajo kala itu mulai belajar untuk menanam. Singkong menjadi obyek pertamanya.

"Dulu mah singkong, di lahan milik bosnya Abah (panggilan Ajo untuk Ayahnya), rata-rata pasti Singkong sih zaman itu mah," jelasnya.

Wajar saja, ia dan sang adik tak mampu meraih sekolah yang layak. Pasalnya, sang Ayah hanya menjadi petani singkong dan jagung, itu pun menggarap lahan milik orang lain.

"Berapa ya dulu hasilnya, saya lupa, tapi yang jelas mah gak cukup buat sekolah. Hasil bertani kan dibagi sama yang punya lahan," kata dia.

Nasib sial seperti tak berkesudahan, di usia yang cukup muda. Kala itu, Abah Ajo harus kehilangan sang Ibu, lantaran sakit yang tak berkesudahan.

"Ya usia berapa, 16 atau 17 tahunan lah, mamah meninggal, di situ saya mulai berpikir enggak bisa ngandelin terus Singkong sama Jagung aja," ungkapnya.

Hanya untuk mendapatkan uang lebih serta makan sehari-hari yang kayak. Abah Ajo muda mulai mencari pengetahuan tentang dunia pertanian.

Modal otot, mampu membaca dan menghitung secukupnya, saat itu Abah Ajo mulai bertualang mencangkul lahan milik orang dengan garapan tani yang berbeda.

"Mulai, Abah cari dan lihat hasil pertanian apa yang bisa menguntungkan atau dapet uang lebih, Abah cari tuh kemana-mana, masih wilayah Priangan Timur," tuturnya.

Pangandaran, Banjar, Tasik, Garut hingga Subang, Purwakarta dan Sukabumi, ia jajaki. Bandung Raya sudah pasti.

Berbagai bibit sayuran, umbi-umbian hingga kopi ia jajaki. Pun dengan pohon-pohon pembawa pundi-pundi, seperti cengkeh, Jati, dan Tembakau.

"Keliling, sambil garap lahan orang, tiga bulan di lahan siapa misalnya di Lembang dapet bibit dan Ilmunya, Abah catat dan pindah lagi, gitu aja terus," kata Abah Ajo.


Perjalanan Ajo muda untuk mendapatkan uang lebih nyatanya membuahkan hasil. Sayuran seperti Buncis, Cabai Rawit, Tomat dan Kol membawanya ke kehidupan yang lebih layak.

"Waktu itu di Lembang, mungkin karena tanahnya bagus ya. Daerah Cisarua, lumayan Abah bisa bangun Bilik (rumah dengan bahan serat kayu) di sini di Manglayang," katanya.

Abah Ajo mengaku pertemuannya dengan Yasih (58) sang istri tak lepas dari dunia pertanian.

Setelah cukup untuk membeli sebidang tanah dan di bangun rumah di kaki gunung Manglayang, tepatnya Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Abah Ajo membawa sang ayah serta sang adik untuk tinggal bersama di rumah barunya. Sekalipun hanya berdinding bilik, Abah Ajo dan keluarganya merasa nyaman.

"Alhamdulilah dari menanam sayuran bisa ke beli, dulu mah harganya murah, tapi bersyukur lah," terangnya.

Saat Ajo, akan memulai bertani Kopi, ia mesti ditinggal pergi sang Ayah. Seorang guru pertanian yang sampai saat ini masih ia pegang ilmunya.

"Awal 90 an saya lupa, Abah meninggal, waktu itu Saya lagi garap kopi di sini di Palintang," ungkapnya.

Mengajari sarjana pertanian dari berbagai universitas

Siapa sangka, meski hanya lulusan SD dan mengandalkan cangkul sebagai alat sehari-hari.

Ternyata Abah Ajo pernah mengajari ratusan mahasiswa yang mengambil studi pertanian.

Abah Ajo tidak mampu lagi mengingat nama-nama mahasiswa itu.

Namun, ia masih ingat salah satu kampus pertanian di Jawa Barat merupakan kampus yang paling sering mahasiswanya dibimbing ketika praktik.

"Iyah itu kampusnya, sering tuh, kopi, singkong, kadang cengkeh atau sayuran. Terakhir itu tahun 2015 yang ke sini mencari dan penelitian," tambahnya.


Kepada para calon sarjana itu, Abah Ajo kerap memberikan pembelajaran pengalaman tanpa harus melihat kajian teoretis.

"Ah saya ajarin aja yang Abah saya ajarin, tentang tanah lewat istilah kolot baheula (orangtua zaman dulu)," sambungnya.

Kepada Kompas.com, Abah Ajo mengungkapkan kerap mengelus dada ketika mengajari mahasiswa.

Bukan tanpa sebab, ia menyebut terkadang mahasiswa berpegang pada apa yang diajarkan di kampus dan kerap mengkerdilkan pengalaman petani di lapangan.

"Kadang suka ada yang gitu, keukeuh (yakin) pada kajian di kampus, padahal pengalaman saya, bukan sombong ini mah, lebih mateng lah," tuturnya.

Kendati pernah mencetak sarjana pertanian, Abah Ajo kerap menolak permintaan kampus, dosen atau mahasiswanya agar datang satu kegiatan untuk sekadar menerima penghargaan.

Baginya, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa disebarkan dan bermanfaat pula bagi yang mau meneruskan.

"Pesan orang tua saya, gak ada ilmu yang berat ketika di bawa, ilmu pasti bermanfaat buat kita atau buat orang lain, kalau buat orang lain ya kalau diajarkan," ungkapnya.

Petani segala rupa

Saat ini di lahan milik orang lain, Abah Ajo sedang berupaya menanam Kayu Manis, Kopi dan Kacang Tanah.

Lahan yang berundak-undak itu diubahnya menjadi kebun yang asri. Abah Ajo membagi lahan tersebut ke dalam tiga bagian, sebelah barat untuk Kopi, Utara Kayu Manis dan Timut untuk Kacang Tanah.

"Ini punya orang, kalau berhasil ya nanti dijual ke tengkulak, kata yang punya yang penting lahannya bermanfaat hasilnya mah buat Abah, syukur alhamdulilah enggak dibagi dua," kata dia.

Sebagai gantinya, sang pemilik lahan, kata dia, meminta Abah Ajo untuk menjaga Villa miliknya.

"Ya Abah juga tahu diri, Abah jagain juga Vila dia," katanya.


Kendati demikian, selama dua tahun, Abah kerap mengalami gagal panen lantaran diganggu hama babi.

Tidak tanggung-tanggung hampir seluruh kebun bagian timur yang ditanami kacang tanah habis digali babi hutan.

"Kacang mah habis dimakan babi, habis semua, kalau kopi sama kayu manis cuma di acak-acak," geramnya.

Sejauh ini, tidak ada tindakan dari pemerintah terkait gangguan hama babi hutan tersebut.

"Enggak ada tuh bantuan, kalau ada juga inisiatif warga saja untuk moro (memburu babi menggunakan anjing)," jelasnya.

Demikian pula dengan bantuan bibit atau pupuk, sejauh ini dia tidak pernah menerima bantuan langsung dari pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Bandung.

"Alhamdulilah enggak ada, tapi Abah mah jalan aja terus," kata dia.

Diakuinya, khusus kacang tanah, Abah Ajo baru memulainya. Jika sukses, atau hasilnya bagus, ia bisa menjual Rp 15.000 per kilogram.

"Kalau kering itu Rp 3.000 per kilogram. Kalau sayuran tuh pernah paling mahal Sosin bisa sampai Rp 15.000 per koli (wadah berukuran besar)," jelasnya.

Sementara untuk kopi, Abah Ajo membeli bibitnya Rp 2.000 per batang pohon.

"Ini kopi Manglayang, semakin bibit pohonnya tinggi yang semakin mahal," terang dia.

Kendati tubuhnya sudah renta, serta kulitnya hitam terbakar matahari. Abah Ajo masih mampu melangkah menaiki lahan yang berundak.

Entah berapa banyak keringat dan tenaga yang harus digunakan untuk menggarap lahan pertanian lagi.

"Sebetulnya mah cape, tapi gimana sudah jadi kegiatan, mudah-mudahan anak saya mau nerusin, ya paling tidak anak saya punya pengalaman di bidang lain dan pertaniannya dari saya," harapnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/02/091038678/kisah-abah-ajo-petani-segala-rupa-yang-sukses-ajarkan-sarjana-pertanian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke