Salin Artikel

Kisah 2 Veteran Perang Timor Timur, Pensiun Cuma soal Administrasi

Perasaan itu yang dirasakan Djuhdi (73) menjelang Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap 17 Agustus.

Mantan legiun Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) ini kerap mengingat setiap momen mempertahankan kedaulatan negara, beberapa hari jelang Hari Kemerdekaan.

"Ada semangat seperti dulu lagi, apalagi jelang hari Veteran, jadi ingat waktu tugas dulu, kumpul lagi kaya dulu nunggu perintah," katanya ditemui Kompas.com, Jumat (12/8/2022).

Djuhdi menceritakan pengalamannya kala berlaga di Timor Timur, menjadi medan operasi perdananya, kala masih berdinas di Matra Darat.

Kendati sudah dimakan usia, ia masih ingat betul, misi yang harus dijalankan kala mendarat di Bumi Lorosae.

"Saya berangkat lewat jalur laut, pakai kapal Angkatan Laut, lewat Pelabuhan Betano," ujarnya.

Mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan negara bagi Djuhdi sudah tidak bisa dinegosiasi.

Sekali pun, istri dan orangtua melarang. Jika sudah negara yang memanggil, kata dia, pantang untuk pulang.

"Saya ingat pimpinan dulu memberikan misi, amankan Timtim dari pemberontakan Fretelin yang dipimpin Xanana Gusmao," katanya sambil meniru gerak dan suara pimpinannya kala itu.

"Jangan biarkan satu jengkal pun, tanah kita diambil atau lepas dari kedaulatan kita, itu kata Bung Karno, jadi ya gak ada pilihan," jelasnya.

Kalimat itu pula yang membuatnya mampu bertahan selama satu tahun untuk menghadapi Fretelin.

Kendati tugas pertamanya di Timtim hanya untuk pengamanan belaka. Namun, tidak membuat ia tidak terlibat dalam pelbagai kontak senjata.

Beberapa kawan seperjuangan banyak berguguran. Djuhdi menyaksikan betul bagaimana kawan-kawannya meregang nyawa akibat terjangan peluru lawan, kala itu di Timtim.

"Fretelin itu gabung dengan Rakyatnya. Jadi dulu kami sempat sulit bedakan mana Tentara Fretelin mana warga, tahu-tahu kontak senjata dan banyak teman saya yang gugur dari kesatuan atau batalyon lain," kata Djuhdi.

Satu tahun berlalu, Djuhdi mesti kembali kesatuannya di Cianjur. Saat itu, diakuinya ada rasa kecewa karena merasa belum selesai bertugas di medan laga.

Begitu menapaki kaki kembali ke tanah Priangan. Ia tak berhenti berdoa dan berharap bisa kembali berlaga di Timor Timur untuk operasi yang lebih sulit lagi.

Seperti direstui semesta, pada 1979 Djuhdi kembali diberangkatkan ke Timor Timur untuk operasi yang lebih menantang, yakni mencari jejak pimpinan Fretelin Xanana Gusmao.

"Kalau yang kedua tahun 79 saya langsung di tugaskan di jantungnya di Kota Dili (kini Ibu Kota Timor Timur)," kata dia.

Selama tiga bulan penuh, ia terus menyisir pedesaan, kampung serta gunung-gunung dekat Kota Dili. Rentan waktu itu, baginya siang dan malam sudah tak ada bedanya.

Setiap jengkal wilayah yang ia lalui bersama pasukannya kerap dilalui baku tembak.

"Karena tujuannya operasi dan melacak keberadaan pimpinan Fretelin. Kita terus bergerak, gunung bukit mah udah jadi makanan kita, banyak sekali yang gugur karena kita kontak senjata hampir tiap hari," tuturnya.

Belakangan Xanana Gusmao berhasil ditemukan di sebuah lubang bawah tanah di dalam rumah  milik seorang anggota polisi Koptu Augusto Pereira di Desa Lahane Barat, Dili.

"Itu buah dari apa yang kami lakukan siang dan malam, bergerak sesuai petunjuk atasan, waktu itu keberhasilan misi adalah harga mati," terangnya.

Keberhasilan Djuhdi dalam operasi pencarian Xanana Gusmao juga tidak lepas dari peran rekannya, R. Suprapno (74).

Seroang veteran dari Matra Darat yang sudah lebih dulu bergerak di Tim-Tim. Kepada Kompas.com Suprapno mengatakan telah tiga kali ditugaskan ke Tim-Tim.

"Kalau saya tiga kali, tahun 1975, 1981,dan 1984, memang saya kebanyakan gak angkat senjata," kata dia.

Namun, ternyata peran Suprapno terhadap proses suksesi penangkapan pimpinan Fretelin itu tidak bisa dianggap remeh.

Berbekal penguasaan materi teritorial di atas rata-rata. Suprapno ditugaskan untuk melakukan pembinaan sekaligus pengumpul informasi.

"Kegiatan saya di sana sudah merambah kepada teritorial jadi pembinaan-pembinaan ke warga Timtim," tambahnya.

Saat itu Kopral Satu Suprapno bertugas untuk melakukan pemetaan mulai dari warga hingga ke partai politik di Timor Timur.


Tidak disangka, keberhasilannya bersama pasukannya kala itu berhasil disambut baik oleh pasukan Djuhdi yang melakukan operasi kontak senjata.

"Jadi di sana ada tiga partai, yaitu Partai Kota, Partai Pratistha, dan Fretilin. Nah yang dua itu, Kota dan Pratistha partai Nasional yang mau bergabung dengan Indonesia. Sedangkan Fretilin itu ideologinya berbeda, jadi pengin merdeka keluar dari Indonesia," ungkapnya.

Djuhdi purnatugas pada 1995 dengan pangkat Sersan Mayor dan bertugas di Komando Rayon Militer (Koramil) Cicalengka.

Pada tahun yang sama R Suprapno pun purnatugas dengan pangkat terkahir Sersan Kepala yang bertugas di Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Bandung.

"Setelah melalui serangkaian tugas itu, akhirnya sekarang kita bisa mengenakan seragam seperti ini, yang disebut veteran," kata Djuhdi.

Palagan terbaru, mempertahankan hidup

Setelah hampir sepenuh hidupnya dipenuhi dengan berbagai penugasan di medan operasi.

Prajurit tetap Prajurit yang harus menghidupi keluarga. Baik Djuhdi dan Suprapno harus puasa menerima Dana Kehormatan (Dahor) sebesar Rp 1,8 juta per bulan.

"Setelah diberi gelar veteran, kita diberi penghargaan materi yang disebut dana kehormatan. Dulu memang kita sempat mendengar akan ada kenaikan menjadi Rp 3,6 juta tapi sampai sekarang kenyataannya masih segitu," bebernya.

Suprapno menjelaskan, Dahor serta gelar veteran itu diterima baru sampai angkatan 75.

"sementara yang 1976 ke atas itu belum. Jadi walaupun sama-sama ke Timtim, tapi, yang mendapat gelar veteran itu hanya angkatan yang berangkat pada bulan September 1975 hingga September 1976. Selebihnya itu belum mendapatkan gelar kehormatan," ungkapnya.

Kendati masih mendapatkan Dahor yang belum menunjang. Kedua Veteran itu tetap bersyukur atas perhatian negara.

Bagi mereka berdua, pensiun hanya merupakan soal administrasi saja, pengabdian sesungguhnya masih terus harus dilakukan di ruang-ruang terkecil.

"Tapi kita tetap syukuri saja apa yang kita terima. Jadi mememang ada dua sumber dana pensiun satunya dari Asabri satunya dari Taspen," ungkapnya.


Memasuki masa senja, dan HUT Ke -77 RI , baik Djuhdi atau Suprapno memiliki harapan yang sama, baik harapan secara pribadi atau untuk kemajuan negara.

"Kalau untuk pribadi ya harapannya pasti kesejahteraan ya. Logikanya mah jika kita sejahtera, perut aman, otak aman, negara pun aman," kata Djuhdi.

Sementara untuk keberlangsungan negara, Djuhdi berharap negara mampu meredam konflik yang memecah belah.

Begitu pula dengan masyarakatnya, agar bisa memahami dan beradaptasi dengan situasi baru yang sedang diperjuangkan negara.

"Harapan untuk negara ya kami selalu berharap negara ini aman, dan semakin dewasa terhindar dari konflik-konflik yang bisa memecah belah. Karena kami merasakan betapa susahnya jika seperti itu, banyak yang dirugikan, banyak yang harus gugur," tuturnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/12/115659578/kisah-2-veteran-perang-timor-timur-pensiun-cuma-soal-administrasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke